REVIEW : THE PREDATOR


“Gentleman, they're large. They're fast. And fucking you up is their idea of tourism.” 

Ada dua hal yang terbersit di pikiran tatkala seseorang menyebut film berjudul Predator. Pertama, makhluk asing berbadan tinggi besar yang tak segan-segan mengoyak tubuh manusia, dan kedua, Arnold Schwarzenegger. Mantan Gubernur California ini memang hanya mengambil peran di film pertama yang dirilis pada tahun 1987, tapi diantara jilid-jilid lain yang dilepas dalam cap dagang Predator seperti Predator 2 (1990) dan Predators (2010), bisa dibilang hanya judul pembuka yang layak untuk dikenang. Bahkan, ini tergolong salah satu film laga dari era 80-an yang semestinya tidak kamu lewatkan. Selebihnya? Boleh saja kamu pirsa selama ada waktu senggang. Menilik resepsi kurang antusias baik dari kritikus maupun penonton yang diperoleh oleh dua film kelanjutan – plus dua film pecahan yang mempertemukan si Predator dengan Alien dari franchise sebelah – agak mengherankan sebetulnya mendapati pihak 20th Century Fox masih kekeuh untuk menghidupkan jenama ini. Percobaan terbaru mereka dalam memperpanjang usia Predator di layar perak dilabeli The Predator dengan menyerahkan kursi penyutradaraan kepada Shane Black (Iron Man 3, The Nice Guys) yang rupa-rupanya turut berlakon di film pertama. 

Seperti halnya film-film terdahulu, guliran penceritaan yang ditawarkan oleh The Predator pun sukar disebut istimewa. Masih sebatas perlawanan sekelompok manusia dalam menyelamatkan peradaban dari invasi makhluk asing. Kali ini, sang komandan adalah mantan Army Ranger, Quinn McKenna (Boyd Holbrook), yang menyaksikan pasukannya dibabat habis oleh si Predator ketika mereka sedang menjalankan tugas di pedalaman Meksiko. Quinn sendiri berhasil melepaskan diri, bahkan dia sempat pula mencuri helm beserta baju baja makhluk asing tersebut. Hanya saja, dia tak bisa mengelak dari interogasi agen rahasia milik pemerintah yang tak ingin kabar mengenai invasi makhluk asing ini tersebar. Demi mengenyahkan saksi, Quinn pun dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan dan dipertemukan dengan sekelompok mantan tentara yang bermasalah secara mental. Tapi tentu saja kelompok ini sanggup melarikan diri, terutama pasca Predator menghancurkan laboratorium rahasia kepunyaan pemerintah. Dibantu oleh seorang ilmuwan, Dr. Casey Bracket (Olivia Munn), Quinn beserta rekan-rekannya pun bersatu padu dalam melacak keberadaan Predator yang ternyata oh ternyata mengincar putra Quinn, Rory (Jacob Tremblay), yang diketahui telah mengaktifkan sensor pendeteksi pada kostum milik si Predator. 


Dalam menggulirkan narasi The Predator, Shane Black memang sengaja tidak mengambil pendekatan yang neko-neko. Dalam artian, film ini dituturkan secara straight to the point tanpa ada upaya untuk menjlimetkan plot maupun menyusupinya dengan subteks relevan mengenai situasi sosial politik dunia agar terkesan berisi. Penonton dari kalangan penggemar mestinya sudah paham dengan apa yang bisa mereka antisipasi dari jilid ini, sementara penonton anyar yang belum pernah bersentuhan dengan franchise ini kemungkinan besar akan terpecah ke dalam dua kubu tergantung seperti apa ekspektasi yang mereka tanamkan. Bagi saya yang mengikuti cap dagang Predator sedari awal (tapi bukan pula tergolong sebagai penggemar), The Predator terhitung berhasil dalam kaitannya mengajak penonton bersenang-senang melalui gelaran laga yang dentumannya terus sambung menyambung sepanjang durasi. Paling tidak, si pembuat film dapat menciptakan nuansa yang sedikit banyak mengingatkan saya kepada seri pembuka sekaligus film sejenis dari era 1980-an. Ada keseruan, ada ketegangan, dan ada gelak tawa dengan unsur campy di dalamnya. Kamu tahu kamu tidak semestinya menganggap serius apa yang tersaji di layar – seperti riuhnya kebetulan dan kerapnya para karakter mengambil keputusan konyol – karena well, Shane Black sengaja menghendakinya demikian. Bukankah itu adalah salah satu bumbu yang menyebabkan film laga dari beberapa dekade silam terasa mengasyikkan buat disimak? Brainless action yang tidak menghendaki penontonnya untuk mencari logika atau kedalaman narasi dalam plot. 

The Predator mampu bekerja dengan baik berkat kesadaran si pembuat film bahwa kreasinya ini semata-mata ditujukan sebagai tontonan eskapisme. Tidak pernah lebih dari itu. Selama durasi mengalun, dia pun sebatas menyodori kita dengan boom boom bang yang disajikan secara brutal dipenuhi muncratan darah beserta organ tubuh berceceran (!) sekaligus disisipi ciri khasnya berupa lawakan bernada agak gelap. Bagi kalian yang alergi terhadap kekerasan atau humor pekat dan memiliki niatan untuk menyaksikan film ini, sebaiknya bersiap-siap. Kalian akan mendapati banyak tubuh manusia ditebas-tebas ketika Predator melancarkan serangan maupun gelak tawa disela-sela momen mendebarkan utamanya kala melibatkan Quinn dan pasukan kecilnya. Mereka nyaris tak pernah menganggap segala sesuatu secara serius – persis seperti semangat yang dibawa oleh filmnya – sehingga tak peduli apapun yang terjadi, selalu ada kesempatan bagi mereka untuk melontarkan candaan. Tak terkecuali saat kematian telah terpampang nyata di depan mata! Ini sangat mungkin berpotensi menjadi mengesalkan dibawah penanganan yang keliru maupun lakonan hampa. Tapi berkat sensitivitas Shane Black dalam memadupadankan humor bersama laga serta chemistry enerjik dari jajaran pemain yang masing-masing memiliki setidaknya satu momen untuk bersinar, memungkinkan The Predator untuk tersaji sebagai tontonan pengisi waktu luang yang mengasyikkan buat ditonton.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Belum ada Komentar untuk "REVIEW : THE PREDATOR"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel