REVIEW : BROTHER OF THE YEAR


“I can really make Jane break up with you.” 

Selepas menyuguhkan kita dengan sebuah tontonan high-concept yang mengusung genre heist thriller dalam Bad Genius, rumah produksi terkemuka di perfilman Thailand, GDH 559, mencoba kembali ke akarnya di tahun 2018 ini melalui Brother of the Year arahan Witthaya Thongyooyong (My Girl, 4Bia) yang bermain-main di ranah drama komedi sederhana. Tak seperti beberapa judul terdahulu lepasan GDH 559 yang kerapkali mengapungkan tema percintaan atau persahabatan, Brother of the Year – sesuai dengan judulnya – mencoba mengulik tentang persaudaraan atau lebih spesifik lagi, persaingan antar saudara (dalam hal ini kakak adik kandung). Sebuah konflik internal yang entah disadari atau tidak rasa-rasanya pernah dialami oleh siapapun yang memiliki kakak atau adik. Sebuah konflik yang sulit terhindarkan tatkala sang kakak/adik mempunyai keunggulan dalam prestasi, keunggulan dalam penghasilan, sampai keunggulan dalam asmara, sehingga memunculkan pernyataan bernada nyelekit dari orang tua seperti “tuh, kakak atau adikmu saja bisa, masa kamu tidak sih?.” Beranjak dari pengalaman pahit yang sangat mungkin dirasakan sebagian orang ini, Brother of the Year pun mengajukan premis relevan yang berbunyi; bagaimana jika kakak atau adikmu yang jauh dari kata 'ideal' merusak kehidupanmu yang telah kamu anggap 'sempurna'? 

Dua kakak beradik yang menjadi sentral cerita dalam Brother of the Year adalah Chut (Sunny Suwanmethanont) yang dideskripsikan sebagai seorang kakak yang payah dalam hal apapun – kecuali protektif terhadap hubungan percintaan sang adik – dan Jane (Urassaya Sperbund) yang mempunyai karakteristik sama sekali bertolak belakang dengan Chut. Keduanya tinggal di bawah satu atap yang sama jauh dari orang tua sampai kemudian Jane bertolak ke Jepang untuk melanjutkan studi. Ditinggal sendirian oleh adiknya yang perfeksionis, Chut seolah menemukan kebebasannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jane tidak merecoki urusannya dan Chut tidak dibanding-dibandingkan dengan sang adik yang memenuhi kualifikasi sebagai 'manusia sempurna'. Sayangnya, kebahagiaan ini hanya berlangsung untuk sementara karena setelah empat tahun mengenyam bangku pendidikan di Jepang, Jane memutuskan untuk kembali ke Bangkok. Pertikaian antara dua bersaudara ini pun tak terelakkan lagi, terlebih Chut masih belum kunjung membenahi gaya hidupnya yang berantakan. Ribut-ribut kecil yang mewarnai keseharian mereka ini lantas mengalami eskalasi lebih jauh ketika keduanya dipertemukan dalam sebuah proyek kerja yang memosisikan Jane sebagai klien Chut dan Chut mendapati fakta bahwa Jane telah menjalin hubungan asmara secara serius dengan rekan kerjanya yang berdarah Jepang, Moji (Nichkhun). Dari sini, keduanya pun saling berlomba untuk menyabotase kehidupan masing-masing. 



Apabila kamu sudah terbiasa dengan film-film keluaran GDH 559 atau sebelumnya dikenal sebagai GTH yang koleksi filmnya meliputi Hello Stranger (2010), I Fine Thank You Love You (2014) sampai One Day (2016), nada penceritaan yang diaplikasikan oleh Witthaya Thongyooyong dalam Brother of the Year sebetulnya tidaklah jauh berbeda. Kita diajak tertawa-tawa di separuh durasi awal, lalu kemudian menapaki separuh durasi berikutnya, emosi diobrak-abrik sedemikian rupa saat kebenaran terungkap. Seperti telah dikulik sekelumit oleh materi promosinya, elemen komedik yang mencuat di paruh pertama bersumber dari pertengkaran tak berkesudahan antara Chut dengan Jane. Chut yang kadung terbiasa menikmati gaya hidup semau gue, mendadak merasa 'kebebasannya' diintervensi oleh Jane yang terganggu dengan cara sang kakak menjalani hidup. Jane menganggap, Chut tidak ikut berkontribusi sedikitpun dalam mengurus rumah kontrakan mereka. Jangankan hal-hal sepele semacam mencuci peralatan makan yang kotor atau mengganti bola lampu yang padam, urusan bayar sewa pun ditangani oleh Jane. Beranjak dari permasalahan tersebut – sekaligus akumulasi dari masa lalu keduanya yang disampaikan melalui kilas balik singkat nan kocak – rentetan momen pencipta gelak tawa heboh bermunculan satu demi satu yang kemudian semakin menjadi-jadi saat mereka berdua ditakdirkan untuk kerja bareng dalam satu proyek. 

Jika ada yang membedakan Brother of the Year dengan beberapa judul komedi lain dari rumah produksi sama, maka itu adalah keputusan si pembuat film untuk tidak mendorong humor dalam film hingga ke ranah slapstick. Kelucuannya terpantik secara natural yang disebabkan oleh adu mulut antara Jane dengan Chut (yang mendapat julukan Miss V) atau situasi canggung nan menggelikan akibat Chut yang tidak kompeten dalam bidang apapun. Keberhasilan dalam menggelitik saraf tawa ini tidak lepas dari pengarahan beserta lakonan akting yang ditunjukkan oleh jajaran pemainnya. Ada keasyikan tersendiri menyaksikan interaksi yang terjalin diantara aktor langganan GDH 559 Sunny Suwanmethanont dengan aktris pendatang baru Urassaya Sperbund di sepanjang durasi film. Mereka menghadirkan performa gemilang sekaligus membentuk chemistry lekat yang memberi kesan kuat pada penonton bahwa Chut dan Jane memang betul-betul mempunyai hubungan darah, betul-betul mempunyai hubungan benci tapi cinta. Ditunjang oleh naskah berisi kreasi empat penulis skenario, kita bisa mengenal maupun memahami dua protagonis utama ini melalui sederet momen kecil yang tak jarang konyol pada paruh awal. Kemampuan untuk membentuk ikatan secara emosi dengan penonton di babak pertama ini menjadi modal utama bagi film untuk memancing deraian air mata tatkala Witthaya Thongyooyong secara perlahan tapi pasti mulai membelokkan kemudi ke ranah drama. 


Peralihannya mulus, tak terkesan timpang seolah-olah dua film dipaksakan menjadi satu. Tapi tanda-tandanya sudah jelas; Jane menerima pinangan Moji dan berencana hengkang ke Jepang demi mengikuti sang suami. Pada titik ini, saya bisa merasakan betapa frustrasinya Chut yang harus menerima beberapa kenyataan menyakitkan di waktu bersamaan, dan kebimbangan Jane untuk tetap bertahan atau meninggalkan kampung halamannya. Hanya bermodalkan tatapan beserta perubahan pada air muka Chut maupun Jane, saya juga bisa merasakan adanya cinta, kepedulian, serta kesedihan yang terpendam dibalik kemarahan serta kekecewaan dalam diri masing-masing. Mereka tidak terbiasa untuk mengutarakan perasaan antara satu dengan lain, dan ini berkembang menjadi suatu masalah saat ego ikut turut campur ke dalamnya. Kadang gemas sendiri menyaksikan Chut atau Jane yang kesulitan berkata “aku menyayangimu”, tapi kemudian diri ini teringat, hey, saya pun tidak pernah mengungkapkannya pada kakak. Brother of the Year menyadarkan pentingnya komunikasi dalam suatu hubungan dan menegaskan bahwa bagaimanapun juga, keluarga adalah harga paling berharga yang bisa dimiliki oleh seseorang. Tidak peduli seberapa kerasnya persaingan antar saudara, seberapa irinya kita kepada saudara yang lebih dielu-elukan, seberapa bencinya kita kepada saudara yang tidak memenuhi kriteria 'ideal', dan seberapa seringnya pertengkaran terjadi, rasa cinta itu pasti ada. Hanya terkadang, kita tidak menyadarinya atau terlalu gengsi untuk mengakuinya.

Outstanding (4/5)

Belum ada Komentar untuk "REVIEW : BROTHER OF THE YEAR"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel