REVIEW : THE EQUALIZER 2


“We all got to pay for our sins.” 

Sepintas lalu, Robert McCall (Denzel Washington) tampak seperti pria paruh baya yang mencintai kedamaian. Jangankan beradu argumen dengan seseorang yang memiliki perspektif bertentangan dengannya, untuk sebatas membunuh seekor nyamuk yang berlalu lalang mengganggu tidurnya di malam hari saja, dia sepertinya enggan melakukannya. Ya, McCall terlihat sangat normal, sangat baik hati, dan sangat bijaksana. Orang-orang di sekitarnya merasa segan kepadanya karena dia menunjukkan wibawa dari seorang pria terhormat, bukan karena dia memiliki tatapan atau tendangan yang mematikan. Di jilid perdana The Equalizer yang didasarkan pada serial televisi berjudul sama dari era 1980-an, McCall tak ubahnya rekan kerja yang bijaksana dan bukan penggemar intrik kantor. Dalam The Equalizer 2 yang masih ditangani oleh Antoine Fuqua (Training Day, The Magnificent Seven), dia bertransformasi menjadi seorang pengemudi taksi online yang berkenan meminjamkan telinganya untuk mendengar keluh kesah penumpangnya sekaligus seorang tetangga yang ramah dan bersedia mengulurkan bantuan bagi siapapun yang membutuhkan. Jika berpatokan pada pembawaan serta penampilannya yang cenderung santun ini, siapa sih bisa mengira bahwa McCall dibekali pelatihan dan kemampuan mumpuni untuk membekuk lawannya dalam satu kali percobaan? 

Rasa-rasanya sih, tidak ada. Robert McCall adalah deskripsi sempurna dari pepatah klasik yang mengatakan “jangan nilai buku dari sampul luarnya.” Kedoknya sebagai pria paruh baya normal, memungkinkan McCall untuk menjalankan misinya dalam menyeimbangkan dunia dengan memberi pembalasan kepada mereka yang telah bertindak zalim tanpa pernah sekalipun mendapat sorotan. Dia bisa menyelamatkan seorang bocah yang diculik oleh ayahnya sendiri di Turki, dia dapat menghajar hingga babak belur sekumpulan remaja berduit yang baru saja menyengsarakan seorang perempuan, dan dia mampu menghindarkan seorang remaja berbakat, Miles Whittaker (Ashton Sanders), dari keinginan untuk bergabung dengan geng setempat demi mendapatkan penghasilan. Disamping itu, McCall pun dipercaya oleh orang-orang di sekitarnya, seperti seorang penyintas Holocaust yang terpisah dari adiknya, untuk mendengarkan cerita mereka. Hanya saja, keinginan McCall untuk melanjutkan pilihan hidupnya yang tenang ini seraya membaca sejumlah buku rekomendasi mendiang istrinya, mendadak terusik saat dia mendapatkan kabar bahwa sahabat baiknya, Susan Plummer (Melissa Leo), dibunuh dalam perjalanan dinasnya. McCall tentu tak bisa tinggal diam dan dia lantas memutuskan untuk memburu siapapun yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Susan. 


Selaiknya jilid pendahulu, Fuqua tak bergegas dalam menuturkan kisah dalam The Equalizer 2. Dia kembali menerapkan pendekatan slowburn dengan membangun ketegangan yang dibutuhkan oleh film secara perlahan-lahan. Kita memang mendapati aksi-kelahi cukup seru sebagai menu pembuka, tapi di sepanjang satu jam berikutnya, film lebih menekankan pada sisi kemanusiaan dari McCall yang berhasrat untuk menegakkan keadilan. Satu-satunya pertarungan yang bisa kita dapatkan dalam periode tersebut yakni ketika McCall memberi ganjaran kepada para lelaki tak bertanggung jawab. Selebihnya diisi oleh interaksi-interaksi yang tumbuh berkembang antara si protagonis utama dengan Miles yang diangkatnya sebagai anak didik beserta orang-orang di sekeliling McCall, seperti Sam Rubinstein si penyintas Holocaust, Susan yang menjadi satu-satunya sahabat McCall, dan penumpang-penumpang taksi online-nya. Kalaupun ada sentakan lain pada titik ini adalah kasus pembunuhan sepasang suami istri di Belgia yang nantinya memiliki keterkaitan dengan plot utama dari film. Memerlukan kesabaran (dan kondisi tubuh yang prima) agar bisa mencerna sederet pembicaraan bernada lambat yang menghiasi separuh durasi awal ini tanpa diselingi kantuk, terlebih tidak seluruh subplot yang dicelotehkan di sini mempunyai daya pikat yang sama kuat. Satu-satunya yang menarik, bagi saya, adalah relasi mentor-murid antara McCall dengan Miles. 

Selebihnya hanya dipergunakan untuk memenuhi kuota durasi tanpa pernah memiliki impak signifikan kepada pergerakan kisah. Justru, keberadaannya ini menghambat laju The Equalizer 2 untuk mengalun secara mulus sampai-sampai memunculkan pertanyaan, “apa sebetulnya permasalahan pokok yang hendak dikulik oleh film ini?.” Penonton tidak mendapatkan jawabannya hingga film menapaki separuh durasi. Sulit untuk disangkal, saya pun sempat terserang jemu lantaran narasi yang serasa di jalan tempat. Jika ada yang sanggup membuat mata tetap melek, maka itu adalah dialog-dialog filosofis mengenai kehidupan yang menggugah beserta performa dari Denzel Washington yang karisma memancarnya seolah-olah merayu saya dengan berkata, “tenang saja, semua ini akan terbayar dengan impas. Ada alasan dibalik keputusanku mengambil peran ini lagi.” Benar saja, mengikuti pendekatan dari film pertama, ketenangan yang menghiasi babak pertama perlahan mulai raib di babak kedua utamanya selepas kita mendapati konflik sesungguhnya yang berkenaan dengan pembunuhan berencana. Adegan investigasinya sih kurang greget, tapi ada dua momen mendebarkan patut dikenang yang mencuat di The Equalizer 2. Pertama, upaya pembunuhan terhadap McCall di dalam taksi berjalan yang berujung pada pergulatan hebat, dan kedua, konfrontasi akhir berlatarkan badai yang berhembus dengan kencang. Keberadaan dua momen keren tersebut mampu membayar impas penantian panjang cukup melelahkan yang berlangsung di lebih dari satu jam sebelumnya.

Acceptable (3/5)


Belum ada Komentar untuk "REVIEW : THE EQUALIZER 2"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel