REVIEW : SKYSCRAPER
“Tell me, how much do you love your family?”
Saat kamu memiliki rencana untuk membuat sebuah film laga minim nutrisi berbujet besar yang di dalamnya sarat ‘boom boom bang’ dan membutuhkan jagoan penuh karisma yang sulit terkalahkan, kamu tentu tahu siapa yang mesti digaet untuk memerankan sang jagoan. Jika tebakanmu adalah Dwayne Johnson (atau The Rock), saya bisa mengatakan bahwa tebakanmu tidaklah meleset. Karena nyaris tidak ada aktor laga Hollywood dalam satu dekade terakhir yang sekarismatik Babang The Rock sampai-sampai dia juga memiliki kekuatan lain berupa pesona yang akan membantu menyelamatkan film dengan naskah seamburadul apapun. Sebuah definisi pahlawan yang sesungguhnya – setidaknya bagi para petinggi studio. Maka begitu Legendary Entertainment mengajukan ide film laga menggunakan kata kunci, “sebuah hiburan teman makan popcorn yang memadukan antara Die Hard (1988) dengan The Towering Inferno (1974)”, kita sudah bisa menerka siapa yang bakal ditugaskan. Usai menyelamatkan keluarga fiktifnya dari bencana alam yang meluluhlantakkan pesisir Atlantik, lalu menjelma menjadi tokoh perkasa dalam mitologi Yunani, dan menjinakkan seekor gorila raksasa yang membabibuta di perkotaan, kini Dwayne Johnson dipercaya untuk mengeluarkan keluarga fiktifnya yang lain (apes bener yaa menjadi anak dan istrinya!) dari gedung pencakar langit yang dilalap kobaran api dalam film terbarunya bertajuk Skyscraper.
Melalui Skyscraper yang menandai untuk kedua kalinya Dwayne Johnson berkolaborasi bersama sutradara Rawson Marshall Thurber setelah Central Intelligence (2016) ini, Dwayne Johnson berperan sebagai mantan agen FBI bernama Will Sawyer. Selepas sebuah tragedi yang merenggut separuh kakinya sehingga dia mengenakan kaki palsu, Will mengakhiri karirnya di FBI dan beralih menekuni profesi sebagai konsultan keamanan. Pekerjaan yang dijalaninya selama satu dekade tersebut membawa Will beserta sang istri, Sarah (Neve Campbell – hello, Sidney, long time no see!), dan kedua anak kembarnya (McKenna Roberts, Noah Cottrell), ke Hong Kong. Will direkomendasikan oleh koleganya semasa masih di FBI pada taipan Zhao Long Ji (Chin Han) yang sedang membutuhkan analisis keamanan untuk gedung pencakar langit miliknya, The Pearl, yang digadang-gadang sebagai bangunan tertinggi di dunia melampaui Burj Khalifa dan Empire State Building. Perjalanan bisnis yang mulanya berlangsung lancar-lancar saja ini mendadak berubah menjadi petaka tatkala sekelompok teroris asal Skandinavia menyantroni The Pearl. Guna menjebak Zhao yang menjadi incaran utama di griya tawangnya, mereka meretas sistem keamanan dan membakar lantai 96 yang merupakan titik tengah bangunan. Yang luput dari perhitungan para teroris, disamping Zhao, sisi atas gedung turut dihuni oleh keluarga Will. Maka begitu mengetahui istri beserta anak-anaknya terperangkap di The Pearl yang membara, Will jelas tidak tinggal diam dan mencari segala cara untuk menyelamatkan mereka.
Hanya dengan menengok materi promosi Skyscraper, lalu membaca sinopsinya, dan melihat jajaran pemainnya, kamu tentu sudah bisa menetapkan ekspektasi seperti apa yang seharusnya dibawa masuk ke gedung bioskop. Bukan tontonan laga sok serius, sok njelimet, atau sok cerdas, melainkan sesederhana tontonan laga amat ringan yang akan membuat para penontonnya melupakan permasalahan hidup barang sejenak. Itu artinya, kamu akan melihat Dwayne Johnson sekali lagi memerankan karakter yang mampu melakoni apa saja (literally!) hanya bermodalkan otot-otot kekarnya. Meski karakter yang dimainkannya dalam Skyscraper diceritakan menggunakan kaki palsu dan dia telah lama tidak memegang senjata, bukan berarti dia lantas beralih memanfaatkan otaknya untuk menyusun strategi. Kalau begitu, dimana letak serunya? Ini film laga yang dibintangi oleh Dwayne Johnson lho! Lagipula, kita sudah tahu bahwa Dwayne Johnson bisa melakukan apa saja, maka disinipun bukan pengecualian. Dia tetap bisa berlari, melompat, bahkan meringkus lawan-lawannya menggunakan tendangan. Dia tetap tidak terkalahkan dan kita pun tidak keberatan. Karisma kuatnya membuat sosok Will mudah untuk dicintai, lebih-lebih motivasinya dalam menerabas gedung pencakar langit yang terbakar api tersebut adalah demi menyelamatkan keluarganya. Sebuah misi yang mulia, tentu saja. Pun begitu, Rawson Marshall Thurber yang juga meracik skenarionya tidak menghadirkan cukup momen untuk membuat hati penonton merasa terenyuh (walau tetap hadir di satu dua titik) karena fokusnya hanya satu: laga, laga, dan laga.
Rasa-rasanya, sebagian besar penonton yang memutuskan untuk menghabiskan waktu dan uangnya dengan menyaksikan Skyscraper di bioskop pun tidak berharap lebih-lebih. Toh, Skyscraper telah sangat berhasil menjalankan fungsinya sebagai teman makan popcorn yang mengasyikkan. Jalinan pengisahannya memang klise banget, terbilang menggelikan, dan minim nutrisi (siapapun asal khatam film laga, bisa menulis skrip ini), tetapi sulit bagi saya untuk mengeluh saat film mampu membuat saya menahan nafas, berteriak, hingga akhirnya bertepuk tangan riuh di dalam bioskop bersama ratusan penonton lain di separuh durasinya. Bahkan ada kalanya meremas pegangan kursi dan kaki-kaki gemetaran ketika Will bergelantungan di sisi gedung The Pearl seolah-olah tingginya hanya beberapa meter saja. Mengingatkan pada aksi Tom Cruise di Mission Impossible: Ghost Protocol (2011), hanya saja kali ini lebih gila dan absurd karena melibatkan lakban (!) sehingga tentu saja tidak aman bagi kalian yang memiliki acrophobia (fobia pada ketinggian). Skyscraper sendiri memiliki sederet keseruan kala menyaksikan atraksi Will dari melompat menerabas gedung di lantai 100-an menggunakan crane, dilanjut bergumul dengan api, sampai konfrontasi akhir yang kesemuanya diperoleh dari kombinasi performa Dwayne Johnson (serta Neve Campbell yang badass!), ketepatan si pembuat film dalam mengatur tempo, pergerakan kamera yang dinamis, dan penyutingan yang gesit. Selama menyaksikannya, diri ini merasakan sensasi seperti menonton film laga bergaya old school dari era 80-90’an yang cenderung to the point sekaligus enggan ribet dalam bernarasi. Asal bisa menggenjot adrenalin, puas sudah.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Belum ada Komentar untuk "REVIEW : SKYSCRAPER"
Posting Komentar