REVIEW : SABRINA
“Yang sudah dikubur, jangan pernah dibangkitkan lagi. Yang sudah pergi, jangan pernah dipanggil lagi.”
Ketika dipersembahkan kepada khalayak ramai pada tahun 2017 silam, The Doll 2 mencetak kesuksesan yang berlipat ganda dibandingkan instalmen terdahulunya. Sebuah pencapaian yang layak, kalau saya bilang, karena dari segi penggarapan tidaklah main-main. Ada kombinasi cukup baik antara production value, permainan lakon, serta trik menakut-nakuti sekalipun narasinya masih butuh dipoles berkali-kali. Levelnya jelas tidak berada setingkat dengan Pengabdi Setan (2017) arahan Joko Anwar yang telah menetapkan standar sangat tinggi bagi film horor tanah air, tapi syukurlah bisa setingkat di atas film sejenis yang seringkali digarap ala kadarnya berpegangan pada prinsip “ngapain bikin bagus-bagus dan susah-susah, toh jelek pun masih dikejar penonton.” Phew. Berkaca pada laris manisnya The Doll 2 ini, sudah barang tentu rumah produksi Hitmaker Studios dengan segala insting bisnisnya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengembangkan franchise ini lebih luas. Ketimbang memilih untuk melanjutkannya ke instalmen ketiga, mereka mencoba membuka pintu spin-off (film cabang) dengan mengkreasi sebuah film khusus untuk sang boneka iblis pembawa kutukan, Sabrina. Sebuah pilihan yang awalnya terdengar masuk akal ini lantas terasa membingungkan ketika saya menyadari bahwa jalinan pengisahannya merupakan kelanjutan dari film kedua. Jadi, ini sebenernya spin-off atau sekuel sih?
Ya, Sabrina tidak menciptakan semesta penceritaan baru menggunakan stok karakter anyar melainkan melanjutkan apa yang tertinggal di penghujung The Doll 2. Maira (Luna Maya) yang kehilangan putri semata wayangnya di seri kedua sampai-sampai memutuskan untuk berkomunikasi dengan alam gaib, kembali dikedepankan sebagai karakter sentral. Latar belakangnya pun sama persis dan sekali ini dia diceritakan menikahi pengusaha mainan bernama Aiden (Christian Sugiono) selepas teror boneka Sabrina mengacaubalaukan rumah tangganya. Maira dan Aiden yang belum dikaruniai momongan, mengangkat keponakan Aiden yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya, Vanya (Richelle Georgette Skornicki), sebagai anak angkat. Seperti halnya Maira dulu, Vanya pun belum bisa menerima kepergian orang tuanya – terutama sang ibu, Andini – sehingga dia kerap terlihat murung dan menciptakan jarak dengan Maira maupun Aiden. Lagi-lagi seperti halnya Maira dulu, Vanya pun menemukan cara untuk bertemu kembali dengan ibunya usai teman sekolahnya mengajarinya bermain pensil Charlie (semacam jelangkung lah). Pemanggilan arwah melalui permainan tersebut berhasil dijalankan secara sukses dan Vanya bereuni dengan Andini. Akan tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah sosok tersebut benar-benar Andini ataukah justru sesosok iblis jahat yang menyamar sebagai Andini? Kita semua tentu sudah tahu jawabannya.
Dibandingkan sederet film horor Indonesia yang dilepas dalam beberapa bulan terakhir ini, Sabrina sebetulnya tergolong mendingan. Paling tidak, Rocky Soraya (The Doll, Mata Batin) yang kembali menduduki posisi penyutradaraan masih berusaha untuk bercerita dan memperhitungkan ketepatan waktu dalam memunculkan trik menakut-nakuti. Bukan asal ada penampakan saban beberapa detik sekali tanpa urgensi kecuali demi mengisi kekosongan durasi sekaligus mengagetkan penonton. Lebih lanjut lagi, laiknya film-film seram produksi Hitmaker Studios lainnya, production value dalam Sabrina pun terjamin sehingga memunculkan kesan berkelas. Tidak tampak seperti film buatan amatir dengan waktu produksi kurang dari sepekan (serius, ini ada!). Hanya saja dibalik segala upayanya untuk tampil berbeda, sayangnya Sabrina masih mengidap penyakit langganan film horor tanah air seperti narasi yang cari gampangnya dan ketergantungan pada musik yang menujes-nujes telinga. Memang betul naskah racikan Riheam Junianti dan Fajar Umbara tak kosong melompong yang isinya hanya berupa petunjuk untuk teriak atau lari atau mati, tapi tak kosong malah diartikan penuh sesak oleh keduanya. Ada plot mengenai bocah yang berduka, pengantin baru dengan kehidupan baru, iblis yang menyimpan dendam kesumat, pasangan paranormal yang dihadapkan pada satu problematika besar, sampai keluarga yang tercerai berai karena iri dengki. Rameee. Yang menjadi masalah, seabrek plot ini dipaparkan sekenanya saja tanpa pernah dikembangkan lebih lanjut dan diselesaikan secara instan.
Alhasil, penonton tak pernah bisa benar-benar menyelami persoalan yang dihadapi Vanya, Maira, Bu Laras (Sara Wijayanto), kita juga tak diberi kesempatan untuk berkenalan secara layak dengan suami baru Bu Laras, Raynard (Jeremy Thomas), yang latar belakangnya masih kabur, dan boneka Sabrina yang lucu-enggak-seram-iya seringkali diabaikan keberadaannya meski namanya tercetak besar-besar sebagai judul. Ketidakfokusan naskah dalam bercerita ini turut dilukai oleh dialog yang terdengar kaku, kontinuitas yang memusingkan (contoh: bagaimana mungkin kamu memasuki sebuah tempat saat hari masih terang lalu hanya dalam hitungan menit kamu keluar dan hari sudah gelap?), iringan musik untuk mengagetkan penonton yang menyakitkan sampai-sampai membuat saya menyesal tidak membawa penyumbat telinga serta kekonyolan khas franchise ini seperti karakter-karakter yang kebal terhadap benda tajam sekalipun telah dilukai berulang kali. Ditusuk-tusuk pisau atau gunting masih bisa lari-lari, gaes! Masih bisa salto, gaes! KZL. Yang lantas menyelamatkan Sabrina disamping production value kelas wahid, lalu efek khusus yang dipergunakan secara efektif untuk menyokong teror, dan kemampuan Rocky Soraya dalam menghadirkan satu dua momen mencekam – utamanya saat prosesi pengusiran setan beserta klimaks yang berlangsung cukup seru sekalipun kelewat panjang dan mulai berasa repetitif (polanya senada seirama dengan dua seri terdahulu dan Mata Batin) – adalah performa jajaran pemainnya yang mengupayakan peran mereka tak sehambar karakterisasi yang digoreskan di naskah.
Trio Christian Sugiono, Richelle Georgette Skornicki, dan Jeremy Thomas bermain baik, tapi Sabrina lebih berhutang nyawa kepada duo Luna Maya dan Sara Wijayanto yang membantu menghadirkan efek dramatis pada film. Luna Maya lagi-lagi tak mengecewakan kala dipercaya menghidupkan karakter Maira yang sekali ini bebannya condong pada ketahanan fisik, bukan lagi gundah gulana. Karakternya dilempar-lempar, dikubur hidup-hidup, sampai dirasuki setan di babak ketiga yang lantas memberi kesempatan bagi Luna Maya untuk membuktikan statusnya sebagai ‘Ratu Horor’ baru. Totalitasnya mengagumkan. Sara Wijayanto sebagai paranormal tangguh yang mendapat perlawanan dari iblis yang murka adalah pasangan yang sempurna bagi Luna. Sosok Bu Laras yang sempat dirundung keraguan tatkala menyadari lawannya tidak bisa dipandang sepele merupakan representasi jagoan di film horor yang mengundang simpati, walau bubuhan subplot terkait kehidupan percintaannya bersama Reynald memberi rasa tidak nyaman karena saking canggungnya (kalau tak mau disebut menggelikan). Kedua perempuan ini mesti diakui memiliki peranan krusial dalam film. Berkat mereka, Sabrina yang penuh masalah ini masih memiliki rasa dan membuat problematikanya sedikit bisa ditolerir. Tanpa kehadiran mereka, Sabrina hanya akan berakhir sebagai versi daur ulang dari The Doll 2 dan itu jelas bukan berita bagus.
Acceptable (2,5/5)
Belum ada Komentar untuk "REVIEW : SABRINA"
Posting Komentar