Review Film: 'Overlord' (2018)

'Overlord' barangkali bakal lebih greget kalau punya hubungan dengan 'Cloverfield'.

“A thousand-year Reich demands thousand-years soldiers.”
— Franz
Rating UP:
Apa yang saya dengar soal Overlord dan apa yang saya lihat saat menonton Overlord rupanya adalah dua hal yang berbeda. Sebelum masuk bioskop, saya pikir film ini adalah film aksi-horor receh soal bantai-membantai zombie Nazi. Namun awal film mengindikasikan bahwa ini adalah film thriller-perang yang serius. Dua hal tersebut sama-sama saya suka. Menggabungkan keduanya terdengar seperti konsep yang maknyus. Saat film dimulai, saya disajikan dengan kemasan visual yang tampak ciamik hingga saya sampai berpikir film ini tak butuh plot.

Sungguh saya sotoy sekali, film ini rupanya memakai plot... dan plotnya lumayan boring.


Sebagai film kelas B, Overlord punya penampakan yang lebih bagus daripada yang kita kira. Adegan pembukanya luar biasa efektif. Saya bisa bilang bahwa ini merupakan adegan pembuka paling spektakuler yang pernah saya lihat untuk ukuran film-film di kelasnya. Adegan ini memperlihatkan pesawat pengangkut tentara yang diberondong senjata api, tepat sebelum para tentara tersebut terjun payung. Kita tak melihat langsung agresi musuh, tapi kita menyaksikan kilatan peluru yang menembus badan pesawat dan kemudian, badan beberapa tentara. Kamera fokus pada kepanikan para tentara. Mungkin ini dimaksudkan untuk menghemat bujet, alih-alih menampilkan medan perang sungguhan yang pasti butuh banyak efek spesial. Namun ini juga mengeskalasi ketegangan dan urgensi adegan.

Lagi-lagi terbukti bahwa J.J. Abrams bisa membuat apapun yang diproduserinya tampak lebih mahal daripada aslinya. Fokus kemudian beralih kepada satu tentara, yaitu prajurit Boyce (Jovan Adepo). Ia terjun payung dengan gelagapan untuk kemudian mendarat tak sempurna di air. Ia masih hidup, tapi sekarang berada di hutan yang lebat. Mayat-mayat tergantung di pohon, sementara suara peluru terdengar samar di kejauhan. Suasana hutan yang mencekam tampak sangat realistis. Sinematografi dan desain suara benar-benar berjalan maksimal untuk menangkap ketegangan tentara yang terjebak di teritori musuh yang misterius.

Waktu itu adalah D-Day dalam Perang Dunia II, detik-detik bersejarah tepat saat tentara Sekutu akan memukul balik tentara Jerman dari pantai Normandy Prancis. Misi ini sendiri, kata Google, bernama "Operation Overlord". Tim Boyce adalah tim pembuka yang ditugaskan untuk menghancurkan menara pengacau sinyal di sebuah gereja di dekat pantai. Tanpa menara tersebut, pesawat Sekutu bisa dengan aman memberikan bantuan udara untuk para infantri yang nanti menyerbu dari darat dan laut.

Kita semua sudah tahu bagaimana misi ini akan berakhir (makasih atas spoiler-nya Buku Sejarah SD). Namun film Overlord menawarkan kisah alternatif—eh, atau jangan-jangan memang aslinya begini? Tim Boyce yang sekarang cuma tinggal 3 orang kemudian diambil-alih oleh satu-satunya staf yang tersisa, Kopral Ford (Wyatt Russell). Musuh ada puluhan, tapi mereka tak punya pilihan selain menunaikan misi. Meski begitu, mereka yakin ini bukan misi yang mustahil... yah setidaknya sampai mereka menemukan bahwa apa yang dilakukan para Nazi di dalam gereja tersebut jauh lebih keji daripada bayangan mereka.

Semua ini sangat atmosferik, sehingga saya sampai yakin untuk menyiapkan rating minimal 3,5. Bagaimana kamera bergerak, pilihan sorotan gambar, dan iringan musik latar yang mendebarkan, membuatnya punya kadar suspense yang tinggi. Saya percaya film ini akan membawa saya ke tempat misterius yang tak saya duga. Namun, saat kemudian tentara kita berjumpa dan kemudian bersembunyi di rumah seorang penduduk lokal bernama Chloe (Mathilde Ollivier), film ini tenggelam ke dalam klise yang membosankan. Saya takkan mengungkapnya kepada anda. Anda pasti sudah tahu; selain karena predictable ("Bibi saya sakit keras," ujar Chloe), juga karena apa yang mereka lakukan tersebut merupakan rumor eksperimen Nazi paling tenar sepanjang masa.

Yang jelas, apa yang saya dapatkan tak segila yang saya kira. Film ini berada di posisi yang canggung. Di satu titik, ia seperti ingin jadi film serius yang menekel isu perang seperti standar moral dan casualties of war. Tapi ide ini berakhir separuh matang. Konflik moral antara Boyce dan ... bukannya menambah dimensi, justru membuat mereka jadi kelihatan dungu ditinjau dari logika cerita. Karakter membuat pilihan narasi atau muncul di suatu tempat, murni karena skrip butuh itu meskipun ramashook secara naratif. Belum lagi tambahan villain komikal dalam wujud Pilou Asbaek. Di lain sisi, Overlord juga terkesan nanggung untuk menyajikan kegilaan horor yang total. Tentu, ada sedikit gambar-gambar mengerikan yang disajikan dengan efektif oleh sutradara Julius Avery, sampai beberapa diantaranya harus disensor oleh bioskop kita. Namun, setiapkali bergerak mendekati kegilaan horor yang paripurna, Overlord malah memilih untuk menyajikan yang boring.

Ada film yang bertujuan untuk mengejutkan kita, dan ada pula film yang bertujuan untuk membawa kita ke jalan yang familiar lewat cara yang seru atau menghibur. Melihat konsepnya, Overlord agaknya lebih cocok masuk di kategori pertama. Jauh sebelum dirilis, rumor menyebutkan bahwa film ini merupakan proyek rahasia dari franchise Cloverfield. Setelah menontonnya, saya bisa memastikan bahwa film ini tak ada hubungannya dengan Cloverfield. Koneksi gampangan ke film lain bukanlah favorit saya, jadi saya tak percaya saya sampai bisa bilang ini: Overlord barangkali bakal lebih greget kalau punya hubungan dengan Cloverfield. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Overlord

110 menit
Dewasa
Julius Avery
Billy Ray, Mark L. Smith
J. J. Abrams, Lindsey Weber
Laurie Rose, Fabian Wagner
Jed Kurzel

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Review Film: 'Overlord' (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel