Review Film: 'A Star is Born' (2018)

Kisah seperti ini sudah pernah diceritakan, tapi saya serasa mendengar lagu yang familiar untuk pertama kali.

“It's the same story, told over and over. All any artist can offer this world is how they see those 12 notes. Thats it.”
— Bobbie Maine
Rating UP:
Lagu bagus dan lagu jelek--coret yang barusan--semua lagu pada dasarnya punya bahan baku yang sama. Tak ada pengecualian. Entah itu "Flight of the Bumblebee" atau "Despacito", semua dibangun dari 12 nada. Bagaimana mereka diekspresikanlah yang nanti bakal membedakan kualitas. Bahkan lagu yang sama pun bisa punya kualitas yang berbeda jika dimainkan secara berbeda. Saya bisa saja memainkan deretan nada yang sama dengan yang dimainkan Beethoven, tapi permainan saya boleh jadi akan membuat anda meringis; bukan merinding seperti saat mendengar permainan Beethoven. Namun, ada pula musisi yang memainkannya, mungkin tak semirip Beethoven, tapi tetap bisa membuat anda merinding dengan interpretasinya sendiri. Semua adalah soal feel.


Dan itu adalah kunci kenapa A Star is Born, film yang menjadi debut penyutradaraan Bradley Cooper, bisa menyentuh saya. Kisah seperti ini sudah pernah diceritakan, tiga kali malah dan itu baru oleh Hollywood saja. Tak ada salahnya memang memainkan lagu yang sama berulang-ulang. Namun ia akan cepat terdengar monoton. Musisi yang bagus bisa mengaransemen lagu yang monoton jadi terdengar baru. Cooper memainkan deretan nada narasi yang sama, tapi saya serasa mendengar lagu yang familiar untuk pertama kali.

Cooper juga bermain di film ini, menjadi musisi country-rock bernama Jackson Maine. Pertama kali kita melihatnya adalah saat ia mengguncang ribuan orang di sebuah konser besar dengan riff gitarnya yang penuh distorsi. Ia adalah seorang bintang, tapi sinarnya mulai memudar. Penggemar hapal lagunya, orang-orang tak ada yang tak kenal dirinya, tapi bukan karena ia berada di puncak karir, melainkan karena ia sudah mulai memasuki fase "dianggap legenda".

Ia juga seorang pemabuk berat, sehingga mau-mau saja masuk ke sembarang bar demi mendapatkan minuman. Tak peduli kalau yang dimasukinya adalah drag bar, disana Jackson kemudian menyaksikan penampilan dari Ally (Lady Gaga) yang membawakan lagu "La Vie en Rose" dengan semarak. Jackson terpesona, sementara Ally tak percaya bahwa sang legenda baru saja melihat penampilannya, apalagi terpesona padanya. Dan sekarang Jackson ingin mengajaknya nongkrong.

Daya cengkeram utama dari film ini adalah bagaimana ia sukses membuat kita percaya dengan hubungan Jackson dan Ally. Kita tahu kenapa mereka saling tertarik. Lewat adegan simpel dimana Jackson dan Ally menatap saat masing-masing menyuguhkan penampilan panggung mereka, membuat kita langsung tahu bahwa itu adalah ekspresi dari seseorang yang jatuh hati pada talenta dan passion satu sama lain. Cooper dan Gaga punya chemistry yang natural dan meyakinkan. Dan itulah kenapa film ini bekerja; kita peduli dengan apa yang akan terjadi pada mereka.

Kisah mereka mengambil tempat di persimpangan siklus alami dunia entertainment; bintang lama memudar, sementara bintang baru lahir. Jackson perlahan jatuh ke bawah, terlebih dengan hobinya mabuk-mabukan, sementara Ally mendaki ke puncak sejak penampilan duetnya bersama Jackson dilirik oleh seorang produser musik pop. Kita mungkin pernah melihat ini sebelumnya. Namun kali ini kita tercekat karena kita bisa merasakan nyatanya hubungan mereka.

Kita tahu bahwa Cooper adalah aktor yang bagus, dan Lady Gaga adalah penyanyi yang bagus. Namun, Cooper belum pernah menampilkan skill musisinya, sementara Gaga juga belum pernah membintangutamai film besar. Di film ini, mereka membalikkan ekspektasi. Gaga benar-benar berakting disini. Gaga melucuti imejnya sebagai bintang pop eksentrik, sebagaimana yang kita kenal, untuk menjadi seorang wanita biasa yang insekyur dengan penampilan fisiknya. Cooper, selain memainkan karakter pemabuknya tanpa berlebihan, juga memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai bintang rock. Film ini boleh jadi akan terjerembab kalau adegan musiknya terasa dan terdengar palsu. Dari gugel, saya baru tahu bahwa keotentikan diperoleh dengan merekam lagu-lagunya secara live, langsung dinyanyikan oleh Gaga dan Cooper.

Sebagai sutradara debutan, Cooper mengarahkan dengan tangan yang mantap. Sederhana dan tak pamer. Ia menghormati materi orisinal dengan tak mengutak-atik cerita utama, tapi mengubah beberapa detil untuk membuat karyanya terdengar lebih merdu. Sebagian besarnya adalah dengan berfokus pada keintiman karakter. Kita tahu lebih banyak soal latar belakang Jackson dan Ally dengan keberadaan Sam Elliot (sebagai kakak Jackson) dan Andrew Dice Clay (sebagai ayah Ally).

Ini membuat saya tetap terikat dengan film, bahkan saat nanti terdengar beberapa nada sumbang seperti kehadiran produser musik pop (Rafi Gavron) yang sedikit banyak menggoyang rumah tangga Jackson dan Ally. Klise. Barangkali film ini juga ingin menyentil soal realita dunia selebritas. Namun ia sebetulnya lebih sukses di level personal. Saya menangkap A Star is Born sebagai sebuah kisah cinta dengan keintiman yang sangat menyentuh. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

A Star is Born

135 menit
Dewasa
Bradley Cooper
Eric Roth, Bradley Cooper, Will Fetters
Bill Gerber, Jon Peters, Bradley Cooper, Todd Phillips, Lynette Howell Taylor
Matthew Libatique

Belum ada Komentar untuk "Review Film: 'A Star is Born' (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel