Review Film: 'Venom' (2018)

Saya pikir kalau filmnya lebih sampah daripada ini, saya bakal lebih menyukainya lagi.

“Oh... I have a parasite. Good night.”
— Eddie Brock
Rating UP:
Di pertengahan film, teman nonton saya yang noob soal film dan komik (boleh temenan gak sih sama yang begini) bertanya, "Jadi Venom ini jagoan atau penjahat sih?". Yah, dalam Spider-Man 3, makhluk hitam gempal berlidah panjang dan bertaring banyak ini jelas-jelas jahat. Namun film Venom menggambarkannya sebagai makhluk baik-baik yang terkutuk. Ala-ala Dr Jekyll dan Mr Hyde. Atau Hulk. Ia bermaksud menyelamatkan bumi. Tapi juga suka melahap kepala orang. Nah lho.


Venom memang mahluk buruk rupa yang aneh. Dan film solonya ini sendiri juga buruk dan aneh. Aneh hingga sampai di titik lumayan asyik untuk ditonton dan saya mau tak mau mulai menyukainya. Barangkali ganjil menyebut film tentang alien yang suka membantai manusia dengan sebutan "lucu", tapi memang demikianlah adanya. Sayangnya, Venom tak menggila sepenuhnya. Saya pikir kalau filmnya lebih sampah daripada ini, saya bakal lebih menyukainya lagi.

Faktanya, permulaan film seolah ingin menunjukkan bahwa Venom adalah film yang serius. Sebuah pesawat luar angkasa milik perusahaan Life Foundation terdampar di hutan Malaysia. Kargonya berisi beberapa onggokan material alien hidup. Kita kemudian berkenalan dengan Eddie Brock (Tom Hardy), seorang wartawan bergaya rocker yang biasa berkeliling nyari berita dengan sepeda motornya yang keren. Bahan beritanya yang terbaru adalah mewawancarai Carlton Drake (Riz Ahmed), konglomerat pemilik Life Foundation yang mencurigakan. Anda sudah tahu.

Nah, Eddie bukan bukan reporter sembarangan. Ia adalah reporter yang edgy. Jadi alih-alih meliput tentang teknologi mutakhir Life Foundation, ia justru mengkonfrontir Drake soal rumor mengenai perusahaannya yang melakukan eksperimen mematikan menggunakan manusia, khususnya warga miskin. Info ini didapat Eddie dari email pribadi pacarnya, Anne (Michelle Williams). Singkat cerita, ke-edgy-an tersebut membuat Eddie... berubah jadi Venom? Belum ding, Eddie justru dipecat dan diputus pacarnya sekaligus.

Menceritakan bagaimana Eddie bisa berubah menjadi Venom berarti saya harus merangkum satu jam pertama dari film. Yang jelas, onggokan alien yang diberi nama simbiot ini nanti bakal menyatu dengan tubuh Eddie. Patut diketahui bahwa simbiot bakal mengambil alih tubuh manusia dan pelan-pelan memakan organ dalam, kecuali ia cucok betul sama manusia yang bersangkutan. Dan Eddie adalah pasangan sehidup-semati Venom. Saya tidak bercanda. Secara terpisah, saat mereka tampil sendiri-sendiri adalah karakter yang membosankan. Namun saat bersama, mereka adalah pasangan yang serasi. Mereka bahkan punya satu adegan ciuman yang sangat intim yang bahkan tak mampu disaingi oleh ciuman Tom Hardy dengan Michelle Williams di awal.

Akan sangat menarik jikalau film ini membahas tragedi sesungguhnya dari Eddie, yaitu soal bagaimana ia berkutat dengan kepribadian keji di tubuhnya. Namun barangkali pembuat film tak punya ide kecuali bagaimana seekor monster hitam yang buas memporak-porandakan kota dan membantai para penjahat korporat dengan kekuatan super dan elastisitas tubuh. Kalau memang begitu, Venom sebetulnya juga terasa nanggung. Soalnya sebagian besar adegan sadisnya tertahan oleh rating "PG-13" (alias "Remaja" kalau di Indonesia). Tak ada darah yang tersembur, dan adegan melahap kepala yang tadi saya bilang? Cuma lewat adegan indikatif.

Meski demikian, saya tak terlalu banyak kecewa karena aspek terbaik di film ini adalah Tom Hardy dan Venom itu sendiri. Anda tahu, Venom bisa berbicara di kepala Eddie, begitu pula sebaliknya, dan celutukan mereka adalah humor paripurna. Mereka berdebat soal hal receh seperti siapa yang boleh dimakan atau soal betapa hot-nya Michelle Williams. Tom Hardy benar-benar terjun sepenuhnya. Sebuah totalitas, saya yakin, kalau melihat aksennya yang janggal, dialognya yang ganjil, dan bahasa tubuhnya yang lebay. Jelas, film seperti apa yang Hardy sadari sedang ia mainkan berbeda dengan apa yang divisikan oleh sutradara Ruben Fleischer.

Film ini memang bukan film yang bagus, tapi juga tidak seburuk yang diindikasikan oleh trailernya. Ingat kutipan konyol "kotoran yang ditiup angin" dari salah satu trailernya? Kutipan tersebut ternyata punya penempatan yang pas dalam film. Film ini pantas ditonton berkat kekonyolannya. Struktur plotnya yang berfokus pada hakikat simbiot membuat absennya Spider-Man juga tak mencederai film. Eh tapi, kita juga disajikan bakal dengan pertarungan puncak antara dua simbiot raksasa dalam sebuah sekuens mabok CGI yang sibuk dan memusingkan. Tak berbeda dengan pertarungan besar antara dua Hulk di The Incredible Hulk.

Ooh anda sudah lupa? Yaa wajar sih. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Venom

xx menit
Remaja
Ruben Fleischer
Jeff Pinkner, Scott Rosenberg, Kelly Marcel
Avi Arad, Matt Tolmach, Amy Pascal
Matthew Libatique
Ludwig Göransson

Belum ada Komentar untuk "Review Film: 'Venom' (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel