Review Film: 'Halloween' (2018)
Konsep seperti ini pantas mendapat film yang lebih greget.
“He's waited for this night... he's waited for me... I've waited for him...”Rating UP:
— Laurie Strode
Ada dua genre film yang tak gampang dibuat. Dua genre tersebut adalah komedi dan horor. Kita tak hanya harus punya materi yang bagus dan tahu cara menanganinya, tapi juga mesti pandai menyajikan Faktor X — comic factor untuk komedi dan fear factor untuk horor. Halloween versi 2018 punya konsep yang bagus dan ditangani oleh sineas yang kompeten, tapi ini justru membuat saya jadi lebih kecewa karena filmnya seharusnya punya lebih banyak fear factor daripada yang saya tonton ini. Konsep seperti ini pantas mendapat film yang lebih greget.
Salah satu hal terbaik yang dilakukan oleh film ini adalah melupakan sekuel, remake, dan sekuel remake yang jumlahnya sudah hampir setengah kodi. Semua film-film tersebut dianggap tidak ada, sehingga Halloween versi 2018 merupakan satu-satunya sekuel dari film klasik Halloween yang diciptakan oleh John Carpenter. Ini adalah keputusan yang bijak. Dengan kembali ke dasar dan membuat semuanya lebih sederhana, Michael Myers kembali kepada fitrahnya: pembunuh berantai gila, tanpa rencana tanpa emosi tanpa motif jelas, yang susah dibunuh. Titik. Tak ada mitologi tambahan. Sama seperti saat PDKT, usaha untuk menjelaskan terlalu banyak memang seringkali menghilangkan sisi misterius kita yang justru sangat kita butuhkan.
Hal terbaik berikutnya adalah kehadiran Jamie Lee Curtis yang kembali memerankan Laurie Strode. Laurie, kalau anda masih ingat, adalah korban yang selamat dari teror Michael di tahun 1987. Tragedi tersebut meninggalkan luka yang mendalam. Namun Laurie tidak menjadi orang yang depresi. Traumanya disalurkan untuk berlatih menembak, membangun perangkap di rumah, dan mendidik keras anaknya untuk bertahan hidup; sebuah persiapan yang memakan waktu 40 tahun cuma untuk jaga-jaga kalau sewaktu-waktu Michael kembali meneror.
Kita boleh menge-judge Laurie parno, tapi setelah melihat bagaimana bodohnya orang-orang di kampungnya, maka saya menyebut Laurie visioner. Lha gimana, untuk pembunuh sefenomenal Michael, yang ngomong-ngomong sekarang harus dipindahkan ke penjara lain, petugas pengamanannya sangat minim. Tentu saja Michael bakal lepas dan siap membantai kembali. Ooh, topeng kulitnya yang ikonik itu? Kebetulan ada dua blogger penghamba viral yang melambai-lambaikannya langsung di hadapan Michael. Tak perlu taruhan kalau kedua blogger ini akan menyesali tindakan mereka di alam baka.
Ooh, dan tentu saja semua ini terjadi di hari Halloween dong. Jadi Michael bisa berkeliling dengan topeng dan pisau dapur, sementara tak ada orang yang bakal curiga. Yah, barangkali sampai mereka melihat seorang remaja yang tewas disula di terali pagar.
Poin utama film ini adalah tanding ulang antara Laurie dengan Michael. Bedanya, kali ini Michael sudah uzur sehingga seharusnya fisiknya tak lagi segahar di film lalu, sedangkan Laurie sudah punya preparasi 4 dekade—yaah, pertandingan yang terdengar kurang seimbang sih. Namun sebelum itu, kita bakal bertemu dengan banyak karakter yang pada dasarnya tak melakukan apa-apa selain menjadi target Michael. Kalau tujuannya memang untuk menggarisbawahi keseraman Michael, maka ini gagal, sebab atmosfer keseramannya gak dapet, sehingga Michael jadi terkesan tak begitu seram. Cuma dua karakter yang punya kontribusi bagi cerita, yaitu anak Laurie (Judy Greer) dan cucu Laurie (Andi Matichak). Namun momen katarsis di klimaks, dimana mereka memegang peranan penting, serasa lewat begitu saja.
Pembuat film ini adalah David Gordon Green, sutradara mumpuni yang memulai debutnya dengan film drama puitis yang menohok, George Washington. Ia kemudian banting setir dengan brilian saat menggarap Pineapple Express, film komedi tentang dua sahabat pecandu ganja. Nah, dengan Halloween ini, agaknya ia memang suka mengambil belokan tajam. Namun bantingan Green kali ini kurang mulus. Bukannya ia tak menunjukkan kapabilitasnya —ada banyak sekuens menarik dimana ia menjaga beberapa aksi terjadi di luar kamera— tapi menyuguhkan ADEGAN horor di layar tak sama dengan menyuguhkan RASA horor; ia butuh pemahaman akan apa yang membuat horor bisa menyerang penonton. Saya kira hampir selusin orang yang dibantai Horor dalam Halloween tak seram-seram amat.
Jelas, Green dan kolaboratornya dalam membuat skrip, Danny McBride sangat mencintai film klasik Halloween. Beberapa dialog dan permainan kamera di filmnya mereferensikan film Carpenter tersebut. Ia bahkan mengajak Carpenter langsung (yang juga adalah seorang komposer) untuk menyumbangkan score-nya yang ikonik. Namun Green tak bisa mereplika keefektifan Carpenter. Film ini adalah film terbaik sejak Halloween pertama, tapi itu bukan prestasi membanggakan kalau mempertimbangkan sekuel, remake, dan sekuel remake-nya yang bikin kita pengen mengelus dada. Menyaksikan beberapa pengadeganan yang istimewa di film ini, saya terus-terusan mengantisipasi horor yang mencekat.
Dan saya keluar bioskop masih dengan perasaan berharap tersebut. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
Belum ada Komentar untuk "Review Film: 'Halloween' (2018)"
Posting Komentar