REVIEW : WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212


“Seluruh ilmuku telah kupasrahkan padamu, Wiro. Kini saatnya kamu memasuki dunia luar, membawa garis-garis hidupmu sendiri.” 

Bagi sebagian penonton, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (untuk selanjutnya disebut Wiro Sableng 212 saja ya, biar nggak kepanjangan) akan membangkitkan kenangan ke masa lampau. Bagi mereka yang sempat merasakan euforia serial televisi tanah air di era 1990-an, pastinya langsung teringat pada versi sinetronnya yang memiliki lagu tema ikonis dengan penggalan lirik berbunyi, “siapa dia? Wiro Sableng. Sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar.” Sedangkan bagi mereka dari generasi yang lebih sepuh, kenangan itu akan lebih melimpah karena turut bersumber dari sumber materinya, yakni cerita silat rekaan Bastian Tito yang memiliki 185 judul, beserta sejumlah film adaptasi layar lebarnya yang memang tak terdengar gaungnya di era sekarang. Menariknya, disamping berfungsi sebagai ajang nostalgia bagi penggemar lamanya, versi termutakhir dari Wiro Sableng 212 yang menampilkan putra si pengarang, Vino G. Bastian, sebagai si karakter tituler ini juga diniatkan untuk mengobati kerinduan penonton terhadap sajian silat yang telah lama raib dari perfilman Indonesia (terakhir adalah Pendekar Tongkat Emas (2014) yang sayangnya melempem) dan memberikan sajian hiburan berskala blockbuster yang jarang-jarang ada kepada khalayak ramai. Demi merealisasikan poin ketiga ini, rumah produksi Lifelike Pictures pun tidak segan-segan berkolaborasi dengan 20th Century Fox dibawah bendera Fox International Productions sehingga memungkinkan Wiro Sableng 212 untuk terhidang sebagai sajian kolosal dengan cita rasa megah nan mewah seperti yang diharapkan. 

Dalam menggulirkan narasi, Wiro Sableng 212 tak berpatokan pada versi sinetronnya melainkan mencuplik langsung elemen dari empat seri dalam cerita silatnya, antara lain Empat Berewok dari Goa Sanggreng, Maut Bernyanyi di Pajajaran, Dendam Orang-orang Sakti, dan Keris Tumbal Wilayuda. Usai dikombinasikan menjadi satu oleh trio penulis skenario; Sheila Timothy, Tumpal Tampubolon, beserta Seno Gumira Ajidarma, penonton disodori kisah pengembaraan seorang pendekar dengan perilaku yang cenderung nyeleneh nan tengil bernama Wiro Sableng (Vino G. Bastian) dalam upayanya untuk meringkus pendekar dari golongan hitam, Mahesa Birawa (Yayan Ruhian). Konon, misi perburuan terhadap Mahesa ini dimulai selepas Wiro mendapatkan titah dari sang guru, Sinto Gendeng (Ruth Marini), yang dulunya sempat menyalurkan ilmu-ilmunya kepada Mahesa sebelum akhirnya dikhianati. Sinto Gendeng meminta Wiro yang dianggapnya memiliki hati yang bersih dan telah siap mengaplikasikan ajarannya di dunia luar untuk menghentikan rencana keji Mahesa, yakni gerakan ganti raja. Mahesa bersama dengan kelompoknya yang turut meliputi beberapa pengkhianat dari kalangan istana, berencana untuk memporakporandakan kerajaan dengan menculik Pangeran (Yusuf Mahardika) sehingga memudahkannya menggulingkan Raja Kamandaka (Dwi Sasono) dari tampuk kekuasaan. Mengingat Mahesa bukanlah lawan yang bisa dianggap sebelah mata – dan sudah memiliki jam terbang tinggi, maka Wiro pun 'mengajak serta' beberapa pendekar putih yang ditemuinya di perjalanan, seperti Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), untuk membantunya dalam menaklukkan Mahesa.


Selama menonton Wiro Sableng 212 di layar lebar, ada satu sensasi rasa yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya tatkala menyaksikan film Indonesia, merinding. Sedari mencuatnya logo Fox disertai musik pengiringnya yang khas itu, saya berulang kali mencoba mengingatkan diri ini bahwa apa yang tersaji di depan mata merupakan kreasi anak bangsa. Sebuah film laga yang digarap oleh Angga Dwimas Sasongko (Surat Dari Praha, Filosofi Kopi), salah satu pencerita ulung di perfilman Indonesia. Ya, saya sungguh bahagia karena pada akhirnya, perfilman Indonesia memiliki sebuah tontonan yang bisa dikategorikan sebagai blockbuster. Atau dengan kata lain, film dengan skala produksi raksasa yang mempunyai tampilan megah. Membaca deskripsi ini, tanpa bermaksud suudzon kepada para pembaca, saya meyakini ada banyak suara sumbang diluar sana yang berujar “ah, itu kamu saja yang lebay. Tidak seepik itu kok!” lantaran berkomentar nyinyir sedang naik daun (dan dianggap keren). Memang betul bahwa Wiro Sableng 212 bukanlah sebuah produk yang sempurna. Dalam catatan saya, persoalan paling besar yang menghadang film berada di sektor narasi yang terkadang tersendat-sendat. Pemicunya adalah keinginan si pembuat film untuk mengakomodir kemunculan seabrek karakter ditengah durasi serba terbatas sehingga ada kalanya saya terpaksa membuka contekan untuk mengetahui identitas karakter tertentu yang tak pernah mendapatkan perkenalan secara layak. Mereka hanya datang dan pergi oh begitu sajaaa (dinyanyikan dengan melodi ala Letto) demi sekadar memeriahkan pertarungan antara pendekar putih dengan pendekar hitam. 

Disamping latar belakang Wiro dan sejumput mengenai Mahesa yang (untungnya) diberi motivasi memadai untuk ambisi masing-masing, penonton mutlak tidak memperoleh penjelasan mengenai karakter-karakter penyokong yang hilir mudik di sepanjang film, utamanya mereka yang berasal dari komplotan Mahesa. Bahkan, beberapa karakter inti yang mendapat peran krusial seperti Anggini, Bujang Gila Tapak Sakti, serta Bidadari Angin Timur (Marsha Timothy) pun hanya kita ketahui sedikit saja. Mungkinkah Angga dan tim berniat untuk mengeksplorasinya di film mendatang dan hanya mempergunakan momen ini sebagai perkenalan singkat semata sehingga kita tidak lagi asing saat dipertemukan di babak selanjutnya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, selain jumlah karakter terlampau meriah dengan pembagian jatah tampil tak merata, Wiro Sableng 212 tidak menghadapi permasalahan yang berarti. Apabila ekspektasimu tidak menjulang tinggi-tinggi dengan mendamba film ini memiliki plot kompleks (yang sejatinya tidak dibutuhkan oleh film seperti ini) dan pencapaian teknis setingkat film blockbuster buatan studio besar Hollywood hanya karena keterlibatan Fox di dalamnya (yang tentu tak realistis mengingat bujetnya berbeda jauh), rasa-rasanya tidak sulit untuk terpuaskan oleh Wiro Sableng 212. Film ini mampu memenuhi segala pengharapan saya sebagai sebuah tontonan silat yang berdiri di jalur eskapisme. Kocak, seru, dan menyenangkan. Lontaran humor yang sebagian besar digenggam oleh Wiro mengikuti celetukan beserta sikapnya yang tengil-tengil sableng tidak sedikit diantaranya yang mengenai sasaran sampai-sampai seisi studio dibuat tergelak-gelak. Bahkan, untuk menonjolkan kesablengannya, beberapa guyonan yang merapat ke ranah budaya populer dan bermain-main dengan referensi sengaja dibuat lintas zaman yang mana bukan jadi soal lantaran Wiro Sableng 212 berdiri di atas genre fantasi. Gokil! 



Kemampuan humor yang tersalurkan dengan baik ke penonton ini tentu tak lepas dari pengarahan Angga yang bersinergi dengan jajaran pemain ansambel di Wiro Sableng 212 yang memiliki akurasi dalam hal comic timing sekaligus mempunyai permainan lakon yang sulit dibilang mengecewakan. Dari seabrek pemain yang menyumbangkan perannya, beberapa nama yang menonjol antara lain Vino G. Bastian, Ruth Marini, Dwi Sasono, Yayan Ruhian, Marsha Timothy, serta pendatang baru Fariz Alfarazi. Vino G. Bastian membuktikan bahwa dia bukanlah pilihan keliru untuk memerankan Pendekar Kunyuk yang bikin gregetan lawan beserta kawan-kawannya karena tingkah lakunya yang susah diajak serius. Ada pancaran ketengilan seperti gabungan antara Peter Parker, Sun Go Kong, serta Deadpool yang mampu mengecoh siapapun sehingga mudah untuk menganggapnya sebagai pendekar ecek-ecek yang bisa disentil menggunakan jemari tangan. Tektokannya bersama Ruth Marini yang bikin pangling berkat transformasi menakjubkannya di sektor rias dan intonasi suara terasa natural seolah-olah keduanya memang memiliki ikatan kuat sebagai murid-guru, begitu pula saat adu mulut bersama Fariz Alfarazi yang karakternya sebelas dua belas dengan Wiro perihal ketengilan maupun keganjenan. Turut bergabung di jajaran bergengsi ini adalah Dwi Sasono yang melepaskan citra komedinya dengan tampil berwibawa sebagai Raja, lalu Marsha Timothy yang terlihat anggun sebagai perempuan misterius yang kerap membantu Wiro di kala-kala genting, dan tentu saja Yayan Ruhian yang tampak bengis nan mematikan sebagai musuh besar Wiro yang harus ditaklukannya. 

Turut menunjang kelucuan humor dan permainan lakon yang apik adalah koreografi laga yang mengesankan. Keputusan untuk merekrut Yayan Ruhian bersama Chan Man Ching (menangani adegan laga di Rush Hour dan Hellboy II: The Golden Army) tidaklah sia-sia belaka karena Wiro Sableng 212 mempunyai sedikitnya dua momen kelahi dapat dikenang yang bisa dijumpai melalui adegan pertarungan di kedai makan yang mengingatkan kita ke film-film silat dari Cina (dan memberi kita cameo yang membangkitkan kenangan!) lengkap dengan segala kelebayannya dan konfrontasi akhir di babak klimaks yang berlangsung panjang nan mendebarkan. Bak bik buknya tetap terasa seru sekalipun intensitas pada pertarungannya terpaksa diturunkan demi bisa menjangkau pasar keluarga. Keseruan momen laga ini tentu tak akan berarti banyak tanpa sokongan dari departemen teknis yang harus diakui merupakan salah satu letak keunggulan Wiro Sableng 212. Pergerakan kameranya luwes, penyutingannya lincah, efek khususnya halus (well, pengecualian untuk adegan di atas jurang yang masih tampak dipaksakan), kostum beserta tata riasnya detil, dan dentuman musik pengiringnya membantu memberikan energi yang memang dibutuhkan film. Ditambah oleh bangunan semestanya yang menyuguhkan gambaran mengenai dunia yang ditempati para pendekar ini dengan cukup baik, kombinasi dari elemen-elemen teknis ini memunculkan kesan megah nan mewah pada Wiro Sableng 212 laiknya film-film kolosal milik Cina. Sebuah pencapaian sinematis bagi perfilman Indonesia yang tentunya sangat patut diapresiasi karena, well, kapan lagi kita bisa nonton film Indonesia seakbar ini? Sungguh saya jadi tak sabar untuk menengok jilid selanjutnya yang semoga saja bisa menunjukkan peningkatan dari apa yang telah disuguhkan di seri pembuka ini.

Info layanan masyarakat : Ada satu adegan bonus di sela-sela end credit yang memberi petunjuk ke film berikutnya. Bertahanlah, bertahanlah. 

Outstanding (4/5)



Belum ada Komentar untuk "REVIEW : WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel