REVIEW : ROMPIS
Saya bukanlah penonton setia sinetron remaja berjudul Roman Picisan the Series yang mengudara di RCTI pada tahun 2017 silam dan sempat ngehits di kalangan anak muda usia belasan. Tidak bermaksud untuk congkak, hanya saja bagi saya serial yang disadur dari film berjudul sama dari era 1980-an dengan bintang Rano Karno beserta Lidya Kandou ini tak ubahnya sinetron kebanyakan dengan penceritaan yang bikin kepala pusing. Mencoba untuk menjajalnya di salah satu episode, bendera putih seketika saya kibarkan dan tak ada niatan sedikitpun untuk menjajalnya kembali. Maka begitu kisah kelanjutannya dibuat dalam format film layar lebar dengan judul Rompis (Roman Picisan), hati ini tak tergerak buat menyantapnya. Alasannya sederhana; diri ini tak pernah terikat dengan kisah asmara dua karakter utamanya, lantas mengapa saya mesti bergegas untuk mencari tahu apa yang akan terjadi kepada mereka? Nyaris memutuskan untuk melewatkannya saja, niatan seketika berubah ketika satu dua kawan membujuk rayu saya dengan berkata singkat, “filmnya unyu lho.” Sebagai pecandu film unyu, saya jelas termakan oleh bujukan tersebut sehingga saya memilih untuk menyaksikan Rompis di bioskop. Tanpa membawa ekspektasi macam-macam kala hendak ke bioskop, hati ini jelas bungah begitu mendapati bahwa Rompis memang seunyu (dan semenyenangkan) itu.
Melanjutkan apa yang tertinggal dari versi sinetronnya, ketiga karakter utama dari Rompis yang konfigurasinya terdiri dari Roman (Arbani Yasiz), Wulandari (Adinda Azani), serta Sam (Umay Shahab), diceritakan tidak lagi mengenakan seragam putih abu-abu dan telah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka kuliah, mereka akan menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Hubungan tanpa status yang terjalin antara Roman dengan Wulan pun bersiap menapaki ujian yang sesungguhnya tatkala takdir memaksa mereka untuk berpisah... untuk sementara. Tak pernah Roman bayangkan kalau aplikasi pendaftaran kuliahnya ke sebuah universitas di Belanda yang dikirimkannya secara iseng-iseng demi menemani Sam bakal diterima. Padahal dia sudah berencana untuk kuliah di universitas yang sama dengan Wulan di Indonesia. Alhasil, Roman dan Wulan pun terpaksa menjalani LDR (long distance relationship) selama Roman menimba ilmu di negeri kincir angin. Mulanya, hubungan keduanya pada beberapa bulan pertama sih baik-baik saja. Roman masih sering mengirim puisi-puisi romantis andalannya via aplikasi perpesanan dan Wulan berusaha menjaga komunikasi via panggilan video. Namun setelah seorang perempuan misterius dari Indonesia, Meira (Beby Tsabina), memasuki kehidupan Roman di Belanda, hubungan asmara dua sejoli ini pun diuji.
Satu komponen yang memiliki peranan paling signifikan dalam membuat Rompis tampil begitu menyenangkan adalah performa jajaran pemainnya yang tak saja alami tetapi juga hidup. Sensasi yang saya dapatkan, seperti sedang menghabiskan waktu luang di sebuah kafe lalu pandangan mata tertambat pada satu pasangan yang asyik saling goda beserta satu geng yang ramai bercengkrama. Keputusan untuk memberi perhatian biasanya dilandasi dua alasan; pertama, karena anak-anak ini sangat mengganggu sampai-sampai ingin menabok mereka, dan kedua, iri melihat interaksi mereka yang tampak dibentuk diatas fondasi cinta beserta kepedulian. Saya ingin nongkrong bersama mereka. Saat melihat interaksi trio Arbani Yasiz, Adinda Azani, serta Umay Shahab dalam Rompis, alasan kedua lah yang menyebabkan saya betah berlama-lama menyaksikan Wulan marah-marah terhadap Roman lalu tak berselang lama berganti bermanja-manja nan nggemesin, dan menyaksikan Sam yang gemar melontarkan celetukan kocak ngumpul dengan dua sahabatnya tersebut. Mereka sangat asyik. Mengingat mereka sudah beradu lakon bersama sepanjang 107 episode, tentu tidak mengherankan jika kemudian ketiganya sanggup menciptakan suatu zat yang memiliki fungsi amat krusial bagi film percintaan maupun persahabatan, yaitu chemistry. Saya dapat mendeteksi adanya benih-benih cinta yang menguar diantara Roman dengan Wulan, sementara di waktu bersamaan saya pun bisa mengendus aroma persahabatan yang telah terjalin rekat diantara Roman, Sam, serta Wulan.
Pendatang baru dalam kelompok kecil ini, Beby Tsabina, pun tak kesulitan menyesuaikan diri. Bermain sebagai orang ketiga dalam hubungan Roman dengan Wulan, Beby mampu tampil menyebalkan sekaligus misterius. Menyebalkan karena dia kerap muncul mendadak bak Jelangkung di kala Roman dan Wulan sedang berduaan (saya menyukai ekspresi Adinda Azani tiap kali dia kesal terutama kesal melihat kehadiran Meira), sedangkan misterius karena penonton tidak dipapari motif atau latar belakang yang mendasari ketertarikan Meira terhadap Roman sedari awal dan segalanya baru terungkap di menit-menit terakhir. Dia jelas memiliki karakteristik menarik seperti halnya ketiga protagonis yang juga dihidupkan dengan menarik oleh para pelakonnya. Itulah mengapa sebagai seseorang yang tidak mengikuti versi sinetronnya (tidak pula bisa menikmatinya), saya tidak mengalami kesulitan untuk menaruh kepedulian terhadap nasib keempat karakter ini meski saya sebetulnya tidak benar-benar mengenal mereka karena latar belakang para karakter utama hanya dijelaskan sekelumit. Pun begitu, saya tetap ingin melihat mereka mendapatkan kebahagiaan yang diidam-idamkan. Bagi Wulan, kebahagiaan tersebut adalah memperoleh kejelasan dari Roman mengenai status hubungan mereka saat ini. Ingin mendengar pujaan hatinya berkata, “aku cinta padamu.” Sepintas memang tampak klise ala film percintaan remaja pada umumnya – dan Monty Tiwa selaku sutradara sekaligus peracik skenario bersama Haqi Achmad dan Putri Hermansjah pun tidak berusaha untuk menutup-nutupinya – tapi dalam pengembangan konfliknya, ada pembicaraan cukup dewasa mengenai long distance relationship.
Ya, secara mengejutkan, Rompis tidak semata-mata disesaki dengan dialog-dialog puitis seperti diisyaratkan oleh materi promonya. Kalaupun ada, penggunaannya disesuaikan oleh kebutuhan narasi dan tidak dikeluarkan sesuka hati hanya demi memantik respon “awww....” dari penonton. Malah, Rompis berkenan untuk membuka sesi curhat untuk para pejuang LDR menggunakan Roman-Wulan sebagai contoh. Mereka memang bukanlah contoh yang sempurna, tapi ketidaksempurnaan mereka diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi para pasangan muda sehingga tidak melakoni kesalahan yang sama. Agar tidak mudah terbakar oleh api cemburu tanpa mengetahui kebenaran dibalik suatu persoalan, agar mampu memahami tentang skala prioritas, agar mengerti pentingnya komunikasi dalam suatu hubungan, hingga agar menyadari bahwa mutual trust amat dibutuhkan untuk berlangsungnya hubungan yang sehat. Meski si pembuat film (sayangnya) enggan untuk membawa pembicaraan ini ke arah lebih serius nan mendalam karena rentan ditinggal pergi oleh penggemar setia Roman Picisan the Series yang mendamba tontonan percintaan ringan-ringan saja, Rompis bisa dibilang mampu tampil lebih baik ketimbang sederet film percintaan remaja tanah air. Disamping manis, menyenangkan, dan menggemaskan, Rompis pun memiliki narasi dengan konflik cukup mengikat dan jajaran karakter yang terkesan nyata. Sebagai sebuah film yang memiliki kata picisan dalam judulnya, Rompis (secara mengejutkan) tidaklah picisan.
Belum ada Komentar untuk "REVIEW : ROMPIS"
Posting Komentar