REVIEW : MISSION IMPOSSIBLE - FALLOUT


“There cannot be peace without first a great suffering. The greater the suffering, the greater the peace. The end you've always feared is coming and the blood will be on your hands.” 

I have a good news for you. Ladies and gentleman, Ethan Hunt is back! 

Usai rencana Ethan Hunt untuk menjalani hidup tenang digagalkan sedemikian rupa oleh seorang antagonis di Mission: Impossible III (2006) lalu disempurnakan oleh ‘kematian’ sang istri seperti dikonfirmasi dalam Mission: Impossible Ghost Protocol (2011), Ethan Hunt seolah tidak lagi memiliki alasan kuat untuk mengundurkan diri dari IMF dan menghabiskan masa senjanya dengan bersantai-santai di pantai. Terlebih, ada dorongan besar dari pihak studio pemilik cap dagang Mission: Impossible untuk terus menerjunkannya ke lapangan demi menuntaskan misi-misi mustahil lantaran resepsi yang diterima dari penonton maupun kritikus semakin menghangat dari seri ke serinya. Tom Cruise selaku bintang utama – menjabat pula sebagai produser – pun tidak keberatan untuk direkrut kembali, bahkan dia terus menawarkan diri melakoni rentetan sekuens laga berbahaya di beberapa seri terakhir tanpa bantuan pemeran pengganti. Mudahnya, selama masih ada yang bisa dieksplorasi dan masih ada yang bisa dijual baik dari segi narasi maupun gelaran laga, kenapa harus berhenti? Itulah kenapa setelah kekacauan masif di Rogue Nation (2015) yang menyebabkan ‘rumah’ jagoan utama kita, IMF, terancam gulung tikar, misi lainnya telah dipersiapkan oleh Christopher McQuarrie yang kembali menempati kursi penyutradaraan untuk Ethan Hunt dan tim di Fallout 

Misi yang harus dicapai oleh para protagonis kesayangan kita yang konfigurasinya terdiri dari Ethan Hunt (Tom Cruise), Luther Stickell (Ving Rhames), dan Benji Dunn (Simon Pegg) kali ini berhubungan dengan mengamankan plutonium, unsur kimia yang apabila jatuh ke tangan pihak-pihak tak bertanggung jawab dapat menjelma sebagai senjata nuklir mematikan. Salah satu pihak yang mengincar plutonium tersebut adalah Apostles, sebuah kelompok misterius yang mempercayai konsep bahwa perdamaian dunia hanya bisa direngkuh apabila masyarakat dunia telah menderita secara hebat. Nah, memanfaatkan plutonium ini, Apostles berencana untuk melancarkan serangan yang dapat menyebabkan sedikitnya sepertiga populasi dunia musnah dari peradaban. Ethan Hunt yang menyadari dunia tengah berada di ujung tanduk, tentu tidak tinggal diam begitu saja. Ditemani oleh dua rekan setianya beserta seorang agen CIA, August Walker (Henry Cavill), yang motifnya masih samar-samar, Ethan pun bertolak ke Perancis, Inggris, hingga Kashmir, guna mencegah Apostles mendapatkan plutonium. Misi yang sejatinya sudah rumit dan memiliki pertaruhan sangat tinggi ini menjadi kian kompleks tatkala Ethan berjumpa kembali dengan mantan agen MI6, Ilsa Faust (Rebecca Ferguson), lalu menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang bisa dia percaya, dan mendapati sebuah fakta mengejutkan dari masa lalu.


Seperti halnya Rogue Nation, Fallout telah mencuri perhatian sedari menit pembuka. Pembedanya, Christopher McQuarrie tidak langsung menyuguhi penonton dengan sekuens laga pemompa adrenalin yang memperlihatkan Tom Cruise sedang bergelayutan di ketinggian. Sebagai gantinya, dia menyisipinya dengan latar belakang permasalahan yang akan dikulik oleh film. Ethan Hunt beserta timnya mengacaukan transaksi pembelian plutonium yang berimbas pada raibnya benda berbahaya tersebut, sehingga dia harus bertanggungjawab untuk menemukannya kembali dengan disupervisi secara langsung oleh pihak CIA. Beranjak dari sini, film tidak mengizinkan penonton untuk menghembuskan nafas, mengecek ponsel genggam, atau pamit sejenak ke toilet. Sebagai pemanasan, Tom Cruise mengajak kita melompat dari pesawat yang telah melambung hingga ketinggian 25 ribu kaki. Sebagian dari kalian mungkin mengira bahwa adegan ini dieksekusi di dalam studio menggunakan bantuan layar hijau – atau kalaupun nyata, menggunakan pemeran pengganti – tapi faktanya adalah Tom Cruise beserta Rob Hardy, sang sinematografer, memang diterjunkan dari pesawat. Mereka menjalani pelatihan selama setahun demi mengabadikan adegan yang hanya bisa diambil selama 3 menit setiap harinya ini apabila ingin mendapatkan pencahayaan yang sempurna. Gila, kan? Tapi tenang saja, kegilaan tidak akan memuncak secara dini karena Fallout masih menyimpan seabrek stok rangkaian laga impresif yang akan membuat jantungmu berdegup dalam tempo cepat untuk menghiasi sisa durasi. 

Setelah pendaratan di Paris, Fallout mulai konsisten memunculkan sekuens laga secara sambung menyambung dan mengeskalasi ketegangan yang seketika membangun mood ke arah positif. Yang dapat kita antisipasi selama Ethan bertandang ke Kota Cahaya adalah pertarungan tangan kosong di toilet laki-laki yang intensitasnya melemparkan ingatan saya ke The Raid (2011) beserta ciri khas dari rangkaian seri Mission: Impossible yakni kebut-kebutan beroktan tinggi memanfaatkan kendaraan bermotor. Mengingat mereka sedang melakukan kunjungan ke Paris, maka sudah barang tentu aksi tidak akan berlangsung di pedesaan yang tenang melainkan lokasi turistik yang ramai kendaraan berlalu lalang seperti Champs-Élysées dan Arc de Triomphe. Itu berarti, kamu bakal disuguhi adegan yang menunjukkan Ethan menggeber motor bertipe R NineT dan mobil BMW klasik melintasi kepadatan kota saat jam sibuk. Mendebarkan? Tentu saja. Selama momen laga berintensitas tinggi yang memiliki durasi cukup panjang ini, saya bahkan mengalami kesulitan untuk bernafas dan terus mencengkram erat pegangan kursi bioskop. Sensasi yang kurang lebih sama – meski cakupan skalanya tidaklah sebesar aksi di Paris – turut bisa dicecap oleh penonton kala para protagonis bertolak ke London yang menghadirkan adegan kejar-kejaran mengasyikkan menggunakan kaki dan melompat-lompati atap gedung. Dalam penggarapan adegan ini, pergelangan kaki Tom Cruise mengalami retak ketika kakinya membentur dinding sehingga tahapan produksi sempat diberhentikan selama tujuh pekan untuk menunggu sang aktor utama pulih dari cederanya. 



Saat kamu mengira segala kesenangan di Paris dan London ini sudah tidak bisa lebih sinting lagi – seperti saat kamu mengira Rogue Nation telah bertengger di puncak seri terbaik Mission: Impossible terkait kecapakannya mengkreasi parade gelaran laga – Fallout mempersembahkan kita dengan ‘pertarungan’ helikopter yang entah bagaimana caranya akan dilampaui oleh instalmen berikutnya. Sulit dibayangkan. Yang kemudian membuat sederet momen laga ini memiliki impak lebih dari sisi intensitas disamping dedikasi Tom Cruise, gerak kamera dinamis, penyuntingan cekatan, dan iringan musik menghentak adalah kapabilitas McQuarrie dalam bercerita. Dia memberi narasi penghantar untuk setiap momen laga sehingga keberadaannya bukanlah sebatas ajang unjuk kebolehan semata, tetapi ada urgensi dan pertaruhan yang jelas dibaliknya. Pendekatannya kurang lebih senada dengan Rogue Nation dimana jalinan pengisahan yang diajukan oleh si pembuat film mengandung konflik berlapis-lapis penuh konspirasi dan tikungan-tikungan tak terduga yang membetot atensi. Tidak sepenuhnya baru dan ada kalanya terasa berbelit-belit, tapi cara penyampaiannya menggunakan nada pengisahan yang bergerak gesit seraya disisipi humor pengundang gelak tawa memungkinkan penonton untuk terhindar dari kejenuhan ketika mendengar para agen dalam film saling bertukar dialog guna memberi eksposisi mengenai persoalan yang tengah mereka hadapi. Pertanyaan “siapa yang bisa dipercaya?” senantiasa diperbaharui setiap beberapa menit sekali karena, well, setiap karakter mempunyai kesempatan sama besar untuk membelot termasuk Ethan Hunt sendiri. Keberadaan sang Superman alias Henry Cavill yang menggantikan Jeremy Renner (konon, jadwalnya bertabrakan dengan syuting Avengers terbaru) menimbulkan tanda tanya mengingat keputusannya untuk ikut serta dalam misi tim kecil Ethan Hunt masih dipertanyakan. 

Demi menambah daya pikat, McQuarrie turut mengulik lebih dalam kehidupan pribadi Ethan Hunt dalam Fallout yang tak saja membantu menjabarkan motivasinya dibalik aksi berani mati yang dilakoninya selama ini tetapi juga menginjeksikan momen mengharu biru pada film. Sebuah momen yang turut berkontribusi dalam menempatkan Fallout sebagai seri terbaik dalam rangkaian seri Mission: Impossible. Sebentar, sebentar, terbaik? Ya, berkat Fallout, franchise Mission: Impossible telah berhasil menjalankan setidaknya dua hal. Pertama, memosisikan diri sebagai cap dagang paling jempolan untuk subgenre spionase secara spesifik (laga secara umum) di abad ke-21 ini mengungguli Jason Bourne yang telah berakhir dan James Bond yang kurang konsisten. Dan kedua, Fallout membuktikan bahwa franchise ini menua dengan anggun selayaknya Tom Cruise karena setiap serinya senantiasa melampaui pencapaian dari seri sebelumnya. Serentetan kesenangan yang kita dapatkan dari jilid-jilid terdahulu, utamanya Ghost Protocol dan Rogue Nation, dilipatgandakan oleh McQuarrie di sini melalui seabrek sekuens laga gila lalu dipertautkan dengan narasi mengikat yang mengundang ketertarikan dan jajaran pemain ansambel badass terutama trio Cruise-Rhames-Pegg yang chemistry-nya kian solid. Tanpa memedulikan durasi panjangnya yang merentang hingga 147 menit, diri ini masih berteriak “I want more! I want more!” di penghujung durasinya saking kecanduannya. Semoga saja Tom Cruise diberi umur panjang dan kesehatan sehingga kita bisa melihat seri lainnya dari Mission: Impossible di tahun-tahun mendatang.

Outstanding (4/5)


Belum ada Komentar untuk "REVIEW : MISSION IMPOSSIBLE - FALLOUT"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel