REVIEW : ANT-MAN AND THE WASP


“I do some dumb things, and the people I love the most, they pay the price.” 

Bagaimana perasaanmu setelah menyaksikan Avengers: Infinity War tempo hari? Adakah awan mendung yang menaungi hatimu selama berhari-hari? Saya cukup yakin, tidak sedikit diantara kalian yang akan menjawab “ada” karena seperti itulah perasaan saya selama beberapa saat selepas menonton gelaran superhero tersebut. Hati ini tersayat-sayat. Sebalnya lagi, si pembuat film membiarkan rasa itu terus menghantui hati sensitif ini sampai setahun ke depan mengingat instalmen kelanjutannya baru muncul pada bulan Mei 2019. KZL. Meski Marvel Studios bisa dibilang “Raja Tega”, tapi mereka sebetulnya tidak benar-benar tega membiarkan para penggemarnya nelangsa berkepanjangan kok. Buktinya, mereka menghadirkan Ant-Man and the Wasp yang diniatkan sebagai detoks atau obat penawar setelah dua seri sebelumnya dalam rangkaian Marvel Cinematic Universe (baca: Infinity War dan Black Panther) dituturkan secara kelam dan mendalam sampai-sampai berani disusupi subteks berkaitan dengan politik serta feminisme. Seperti halnya jilid pertama, Ant-Man and the Wasp yang masih dinahkodai oleh Peyton Reed (Bring It On, Yes Man) ini adalah film superhero berskala 'kecil' dengan guliran penceritaan ringan-ringan saja yang tujuannya tidak lebih dari sekadar menghibur. Misi utama sang pahlawan dalam franchise ini bukanlah menyelamatkan masyarakat atau bumi atau alam semesta, melainkan menyelamatkan unit terkecil dari masyarakat tapi terhitung sebagai harta yang paling berharga bagi setiap umat manusia: keluarga. 

Melanjutkan apa yang tertinggal dari jilid pertama dan Captain America: Civil War (2016), Scott Lang (Paul Rudd) dikisahkan tengah menjadi tahanan rumah dalam Ant-Man and the Wasp dan telah memutus kontak dengan mentornya, Hank Pym (Michael Douglas), beserta mantan kekasihnya yang ndilalah merupakan putri dari Hank, Hope (Evangeline Lily), demi keamanan bersama. Akan tetapi, pada hari-hari terakhir sebelum Scott dapat menghirup udara kebebasan, sebuah pesan dari dunia kuantum menghampirinya. Pesan tersebut dikirimkan oleh istri Hank, Janet (Michelle Pfeiffer, si Catwoman dalam Batman Returns), yang menghilang beberapa dekade lalu kala dirinya dan Hank sedang menjalankan misi untuk menghentikan nuklir yang diluncurkan oleh pihak Soviet. Dilingkupi rasa penasaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi, Scott menelpon Hank dan tidak berselang lama kemudian Hope ‘menculik’ Scott dari kediamannya. Diboyong menuju sebuah laboratorium rahasia milik Hank, Scott mendapati bahwa mentornya tersebut tengah mengembangkan sebuah terowongan penghubung menuju dunia kuantum demi menyelamatkan Janet. Hanya saja, proyek tersebut belum sepenuhnya sempurna karena kekurangan suku cadang yang mumpuni. Ditengah upaya mengembangkan terowongan penghubung ini, Scott beserta Hank dan Hope seringkali mendapat hambatan dari tiga pihak. Mereka adalah FBI yang mencurigai Scott telah melarikan diri dari tahanan, lalu pebisnis pasar gelap Sonny Burch (Walton Goggins) yang melihat potensi menggiurkan dari proyek Hank, serta Ava Starr (Hannah John-Kamen) yang memiliki motif misterius. 


Berdasarkan sekelumit sinopsis di atas, kita bisa mengetahui secara pasti bahwa misi yang dijalankan oleh Scott dan tim dalam Ant-Man and the Wasp tidak bergeser dari pakem yang telah ditetapkan film pertama yaitu menyelamatkan seseorang yang dicintai. Dalam hal ini adalah Janet; seorang istri bagi Hank, seorang ibu bagi Hope, dan seorang calon mertua bagi Scott. Dengan misi sesederhana ini plus berkaca pada semangat membumi yang diusung oleh franchise Ant-Man, para peracik skenario yang terdiri dari lima orang (salah satunya adalah Paul Rudd) merasa tidak perlu untuk menghadirkan lawan yang luar biasa tangguh bagi sang jagoan. Sonny Burch jelas kriminal kelas teri yang disentil sedikit saja sudah kocar-kacir, sementara Ava terlampau labil secara emosi untuk dianggap sebagai ancaman yang nyata. Kentara terasa, Peyton Reed beserta tim mencoba untuk mengaplikasikan template film keluarga fiksi ilmiah pada Ant-Man and the Wasp yang sedikit banyak mengingatkan saya pada Honey, I Shrunk the Kids (1989) dan sekuel-sekuelnya yang kebetulan diproduksi oleh Walt Disney Pictures (saudara seinduk perusahaan Marvel Studios). Menilik pada template yang dipergunakannya, tentu plot mengenai upaya menyelamatkan Janet dari dunia kuantum sejatinya sudah cukup rumit tanpa harus direcoki oleh penjahat-penjahat sulit ditakukkan. Terlebih lagi, si pembuat film tidak hanya mengulik konflik yang menghinggapi keluarga Hank Pym tetapi juga turut mengupas perjuangan Scott Lang dalam menjadi sesosok ayah yang bisa diandalkan bagi putri semata wayangnya disela-sela waktunya sebagai seorang pahlawan. Sebuah subplot yang mempersilahkan film untuk memiliki momen hangat yang menyentuh hati. 

Keputusan untuk tidak memperluas cakupan skala bisa jadi akan mengecewakan para penggemar yang berharap Ant-Man and the Wasp akan menghadirkan sajian epik. Akan tetapi setelah Black Panther dan Infinity War yang ‘mengenyangkan’ dengan segala kompleksitasnya, film ini seperti menyuguhkan hidangan pencuci mulut yang menyegarkan. Masa sih setelah melahap dua makanan utama dalam waktu berdekatan masih meminta makanan utama lagi? Itulah mengapa Ant-Man and the Wasp sengaja dikemas sebagai tontonan eskapisme pengisi hari libur yang ringan dan tidak membebani pikiran. Memang sih saking ringannya guliran penceritaan film ini, ada kalanya saya sempat merasakan kejenuhan utamanya menapaki pertengahan film yang konfliknya terasa diulur-ulur (dan ngobrol panjang lebar mengenai tetek bengek kuantum) demi memenuhi kuota durasi. Namun segala rasa jenuh yang sempat menyergap tersebut seketika terobati tatkala Peyton Reed mengajak penonton untuk kembali memasuki arena permainan berisikan humor-humor segar dan rentetan laga inovatif yang ditunjang performa asyik jajaran pemainnya (kredit khusus bagi Paul Rudd dan Michael Pena). Reka ulang salah satu bagian terlucu dari film pertama yaitu ketika Luis (Michael Pena) menyulihsuarakan dialog-dialog karakter lain masih tetap mencuri perhatian, sedangkan “Scott kerasukan arwah”, “Scott menyusut dalam ukuran kepalang tanggung”, hingga “manusia semut raksasa” juga menghadirkan gelak tawa berkepanjangan. Tak lupa pula masih ada sejumlah adegan laga yang mesti diakui dikreasi dengan cukup kreatif khususnya kejar-kejaran di babak ketiga yang berlangsung mengasyikkan lantaran melibatkan mobil mainan dan permen Hello Kitty (!). 

Note : Sesuai tradisi Marvel Cinematic Universe, Ant-Man and the Wasp juga memiliki adegan tambahan. Jumlahnya ada dua dan terletak di sela-sela serta penghujung end credit. Yang pertama terhitung penting, sementara yang kedua bisa dibilang ‘just for fun’ saja.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Belum ada Komentar untuk "REVIEW : ANT-MAN AND THE WASP"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel