REVIEW : TOMB RAIDER
“You messed with the wrong family.”
Ladies and gentleman, Lara Croft is back! Bukan dalam bentuk sekuel yang melanjutkan dwilogi buruk tapi menghibur Lara Croft Tomb Raider (2001) dan The Cradle of Life (2003) dengan bintang Angelina Jolie, melainkan dalam bentuk reboot yang memulai segala sesuatunya dari awal mula. Keputusan ini bukannya tanpa alasan jelas mengingat: 1) rencana pembuatan film ketiga telah diurungkan lantaran Jolie emoh kembali dilibatkan, dan 2) seri permainan rekaan Crystal Dynamics yang merupakan landasan utama adaptasi ini pun me-reboot petualangan Lara Croft di tahun 2013. Dikontrol oleh Warner Bros. versi reboot yang menggunakan judul (sederhana) Tomb Raider ini menggunakan konsep dan pendekatan cukup berbeda dibanding seri-seri pendahulunya. Sang heroine yang kini diperankan oleh pemenang piala Oscar, Alicia Vikander, bukan lagi sosok lady pembangkang yang luar biasa tangguh dengan kemampuan tarung sulit untuk dikalahkan dan memiliki fisik aduhai bak Lara Croft versi Jolie. Sekali ini dia digambarkan lebih rapuh dan membumi, begitu pula dengan guliran pengisahan Tomb Raider versi 2018 yang mencoba agar lebih bisa diterima nalar penonton (walau hanya sedikit) dan memberi penekanan pada sisi petualangan alih-alih sebatas pada laga. Hasilnya, Tomb Raider era baru ini dapat tampil lebih baik ketimbang era lawas dan sebagai tontonan eskapisme pun film ini mampu hadir dalam kapasitas yang mumpuni.
Menyandang status sebagai origin story, Tomb Raider memulai jalinan pengisahannya sedari awal sejak Lara Croft (Alicia Vikander) masih mencoba untuk berdamai dengan rasa duka akibat hilangnya sang ayah, Lord Richard Croft (Dominic West), tanpa jejak. Guna menekan rasa duka, Lara mencoba untuk hidup mandiri dengan meninggalkan mansion mewahnya, menyerahkan bisnis keluarga kepada orang kepercayaan sang ayah, dan memilih berkarir sebagai kurir sepeda yang memacu adrenalin tatkala tenggat waktu sudah mepet. Selama bertahun-tahun berada dalam fase ‘denial’, Lara akhirnya harus menghadapi kenyataan tatkala rekan bisnis Richard, Ana Miller (Kristin Scott Thomas), memperingatkan bahwa mansion milik keluarga Croft akan dijual apabila Lara tidak kunjung menandatangani surat pernyataan penerima harta waris yang secara otomatis turut menyatakan bahwa Richard telah tiada. Dalam keragu-raguan, Lara menemukan sebuah petunjuk penting yang mungkin mengungkap keberadan sang ayah. Petunjuk tersebut mengarahkan jagoan kita ke Yamatai, gugusan pulau di lepas pantai Jepang, yang konon kabarnya dikutuk karena menjadi makam bagi Ratu Himiko yang kejam. Hanya membawa modal seadanya berupa buku harian Richard dan kenekatan, Lara ditemani oleh pelaut Lu Ren (Daniel Wu) pun bertolak ke Yamatai demi menemukan kebenaran dibalik misteri menghilangnya sang ayah.
Ada satu kesamaan yang menautkan film-film yang diadaptasi dari permainan konsol; skripnya lemah dengan guliran penceritaan penuh lubang dan kerap dipertanyakan. Walau ini sejatinya bukan sesuatu mengherankan mengingat materi sumbernya sendiri cenderung abai soal plot karena inti dari permainan bukanlah kedalaman cerita melainkan terletak pada visualisasi dan tantangan yang dihadapkan ke pemain. Tomb Raider versi Roar Uthaug (The Wave) selaku film adaptasi dari video game berseri pun (tentunya) menghadapi persoalan serupa. Ya mau bagaimana lagi, plot memang bukan sesuatu yang benar-benar krusial di sini karena keberadaannya sendiri sebatas untuk menjustifikasi munculnya rentetan aksi yang dihadapi sang jagoan. Tapi jika boleh dikomparasi dengan dua seri Tomb Raider yang menampilkan Jolie, ini masih setingkat lebih baik. Narasi rekaan duo Geneva Robertson-Dworet dan Alastair Siddons setidaknya menaruh perhatian kepada sosok Lara Croft dengan memberinya latar belakang sekaligus karakterisasi cukup jelas sehingga dia terlihat manusiawi dan bukanlah sebatas karakter jagoan kosong. Penonton melihatnya berproses dari seorang perempuan yang mencoba mengatasi dukanya dengan melarikan diri menjadi seorang perempuan yang pantang menyerah dan berani menghadapi tantangan di depannya. Alicia Vikander mampu memperlihatkan perubahan ini secara meyakinkan baik melalui air muka maupun gestur tubuh yang terlihat dari kemampuannya menangani adegan aksi sehingga karakter Lara di tangannya dapat dikategorikan ‘badass’.
Ketiadaan plot yang mengikat – well, misteri tentang Pulau Yamatai dan Ratu Himiko ini sebetulnya menarik sampai kemudian perlahan raib saat sang heroine akhirnya menginjakkan kaki di pulau misterius tersebut – untungnya berhasil dikompensasi oleh Uthaug dengan kapabilitasnya dalam mengkreasi rentetan sekuens laga yang mampu memacu adrenalin di hampir sepanjang durasi. Beberapa adegan aksi di Tomb Raider yang memberikan impresi sangat baik kepada penonton meliputi puluhan sepeda yang saling berkejar-kejaran menembus jalanan kota London yang padat di menit pembuka yang seketika membangkitkan ketertarikan terhadap film, terjangan badai besar menyambut kedatangan Lara beserta Lu Ren di Pulau Yamatai yang memporakporandakan kapal yang mereka tumpangi, bergelantungan di bangkai pesawat yang nangkring di atas air terjun, duel Lara dengan salah satu anak buah dari villain utama film ini di atas kubangan lumpur, sampai petualangan menyusuri makam Ratu Himiko yang di dalamnya ternyata dipenuhi dengan jebakan mematikan yang menyulitkan siapapun untuk keluar dari makam tersebut hidup-hidup. Adegan-adegan ini berhasil dengan baik membawa penonton memasuki fase ‘harap-harap cemas’ seraya meremas-remas kursi bioskop dengan erat. Adegan-adegan ini juga yang memberikan alasan mengapa Tomb Raider layak ditonton di layar lebar. Meski penceritaannya mungkin saja akan membuatmu geleng-geleng, tapi setidaknya Alicia Vikander tampil meyakinkan sebagai Lara Croft dan rentetan laganya yang digeber hampir tanpa henti memberikan definisi dari kata mengasyikkan.
Exceeds Expectations (3,5/5)
Belum ada Komentar untuk "REVIEW : TOMB RAIDER"
Posting Komentar