REVIEW : MARS MET VENUS (PART CEWE & PART COWO)
“Pupil mata cewe itu kayak buaya. Bisa ngeliat 180 derajat tanpa ngelirik.”
MNC Pictures punya gagasan menarik. Memecah film terbaru mereka yang bergenre komedi romantis, Mars Met Venus, menjadi dua bagian terpisah yakni Part Cowo dan Part Cewe. Ditinjau dari inti penceritaan sih, kedua film tersebut serupa. Pembedanya terletak pada perspektif dalam melihat serentetan peristiwa dalam kehidupan sepasang kekasih sedari keduanya saling lempar pandang sampai hendak melangkahkan ke jenjang pernikahan. Dalam hal ini pilihannya adalah menggunakan kacamata laki-laki atau menggunakan kacamata perempuan. Narasi semacam ini sejatinya tidak benar-benar anyar di sinema dunia karena telah diaplikasikan terlebih dahulu dalam The Disappearance of Eleanor Ribgby yang mempunyai tiga versi film; Him, Her, dan Them (gabungan antara keduanya). Tapi tentu tetap menggelitik kepenasaran bukan buat menengok bagaimana sang sutradara, Hadrah Daeng Ratu (Super Didi), mempresentasikan konsep yang tampak begitu unik di atas kertas ke dalam bahasa gambar? Apakah memang ada signifikansinya membagi satu cerita sama ke dalam dua film berbeda atau pembagian menjadi Part Cewe dan Part Cowo justru berakhir tak lebih dari sekadar gimmick? Jawabannya baru bisa kamu peroleh selepas menyaksikan kedua bagian terpisah tersebut.
Mars Met Venus sendiri berkisah mengenai kisah percintaan antara seorang laki-laki bernama Kelvin (Ge Pamungkas) dengan kekasihnya, Mila (Pamela Bowie), yang telah berlangsung selama 5 tahun. Sebelum melamar Mila, Kelvin bersama temannya, Lukman (Lukman Sardi), berniat membuat vlog – video blog – yang merekam perjalanan asmara keduanya sedari masa-masa pertama kali munculnya ketertarikan satu sama lain, pedekate, sampai akhirnya mereka memproklamirkan status berpacaran. Dalam Part Cewe, penonton akan melihat bagaimana hubungan Kelvin dan Mila tumbuh berkembang berdasarkan versi Mila. Karakter pendukung yang banyak memainkan peran dalam bagian ini adalah dua sahabat Mila; Icha (Ria Ricis) dan Malia (Rani Ramadhany). Sedangkan dalam Part Cowo, tentu saja kita melihatnya dari sudut pandang Kelvin. Teman-teman sekontrakan Kelvin; Reza (Reza Nangin), Bobby (Ibob Tarigan), Steve (Steve Pattinama), dan Martin (Martin Anugrah), turut berkontribusi dalam menggerakkan alur cerita. Selama pembuatan vlog ini, baik Mila maupun Kelvin lantas menyadari bahwa mereka mempunyai banyak sekali perbedaan. Perbedaan yang berpotensi meretakkan hubungan asmara keduanya.
Ketimbang saling menguatkan satu sama lain, memecah Mars Met Venus menjadi dua bagian justru membuat film terasa timpang lantaran Part Cewe dan Part Cowo tidak memiliki kekuatan yang berimbang. Part Cewe seolah sebatas hore-hore, sementara Part Cowo menyimpan sedikit kedalaman dalam memaparkan konflik diluar materi guyonannya yang makin liar. Mengingat sang sutradara adalah seorang perempuan – begitu pula peracik naskahnya, Nataya Bagya – cukup mengagetkan melihat bagaimana mereka lebih fasih tatkala menunjukkan persahabatan Tim Mars (para cowo) daripada Tim Venus (para cewe). Bisa jadi, faktor performa barisan pemain berkontribusi besar. Ge menjalin kekompakkan yang nyata bersama Reza, Bobby, Steve, dan Martin sehingga setiap kehebohan yang mereka tampilkan di layar membuat Part Cowo terasa mengasyikkan buat ditengok. Gelak-gelak tawa penonton hampir dapat dipastikan menyertai sekaligus melempar ingatan saya pada masa-masa jahiliyah bersama rekan-rekan kontrakan dulu – tentu dengan kadar keliaran yang agak diturunkan. Disamping itu, Reza beserta konco-konco turut membantu kita lebih mengenal Kelvin. Sesuatu yang tidak kita dapatkan dari Tim Venus dalam Part Cewe. Mereka cenderung hambar. Sehambar chemistry yang terbentuk diantara mereka; Ria Ricis heboh sendiri, lalu Rani Ramadhany seperti berada di dunia yang terpisah dari mereka. Kurang bisa menyatu.
Alhasil, kenikmatan dalam menyaksikan Part Cewe bersumber dari kedua pelakon utamanya. Paling tidak, Ge dan Pamela sanggup menunjukkan kepada penonton bahwa mereka adalah dua sejoli yang tengah kasmaran. Beberapa momen dapat tampil manis, terkadang pula menggelitik. Cukup yakin bakal membuat para pasangan dari generasi milenial tersenyum-senyum sendiri di kursi bioskop lantaran teringat pada gaya berpacaran mereka. Yang kemudian membuat Part Cewe tak semengikat Part Cowo selain minimnya chemistry dari sektor pemain pendukung adalah tuturannya yang tak selalu mulus. Lebih menyerupai gabungan setumpuk sketsa daripada sebuah cerita utuh. Konfliknya juga mengawang-awang. Pemenggalan film berdampak pada kaburnya motivasi karakter tertentu sampai-sampai momen emosional kurang memberi impak seperti semestinya. Pada titik ini saya pun bertanya-tanya, apakah Mars Met Venus memang perlu memperoleh perlakuan semacam ini? Seusai menonton Part Cowo, jawaban saya pun mantap: tidak. Seandainya sejumlah momen dari Part Cewe diintergrasikan ke Part Cowo lalu dilempar sebagai satu film saja, hasilnya akan lebih nendang. Pasalnya, Part Cowo sanggup memenuhi apa yang terlewatkan dari sang pendahulu: keberadaan chemistry dan emosi. Dari sisi penuturan pun, bagian ini lebih rapi alirannya. Kita ikut merasa geli melihat bagaimana Kelvin salah tingkah lalu kerap ‘didzalimi’ Mila, dan kita ikut bersimpati padanya ketika cobaan besar menghadang. Kita tidak pernah betul-betul mengalami fase ini dalam Part Cewe.
Pun begitu, baik Part Cewe maupun Part Cowo dalam Mars Met Venus mempunyai kandungan hiburan yang mencukupi. Keduanya sama-sama memiliki momen manis menggemaskan sekaligus momen pemantik tawa heboh yang akan membuat perutmu kram. Antisipasi munculnya tawa dari adegan sate padang, gudeg, cewek agresif vs cewek pasif, jangan berantem dan mie ayam. Seru!
Part Cewe: Acceptable (3/5)
Belum ada Komentar untuk "REVIEW : MARS MET VENUS (PART CEWE & PART COWO)"
Posting Komentar