REVIEW : BAD GENIUS


“To me ‘cheating’ means someone gets hurt. What we do doesn’t hurt anyone. It’s win-win.” 

Siapa bilang perfilman Thailand hanya jago memproduksi film horor dan percintaan? Rumah produksi terkemuka di Negeri Gajah Putih, GDH 559 (sebelumnya dikenal dengan nama GTH), membuktikan bahwa mereka pun jagoan dalam mengkreasi tontonan mencekam dengan subgenre heist film melalui rilisan teranyar mereka bertajuk Bad Genius. Tak seperti para karakter dari film beraliran sama yang umumnya memiliki riwayat sebagai kriminal dan misi utamanya adalah melakukan perampokan demi mendapatkan setumpuk uang atau emas sebagai bekal dapatkan hidup sejahtera, para karakter dalam film arahan Nattawut Poonpiriya (Countdown) ini hanyalah siswa-siswi setingkat SMA yang masih berusia belasan. Yang mereka incar juga bukan kemilau emas melainkan skor bagus dalam ujian-ujian sekolah yang menentukan. Berbeda pula dengan The Perfect Score (2004) dimana tokoh-tokohnya saling berkonspirasi untuk nyolong kunci jawaban, Bad Genius lebih ke menyoroti sepak terjang sindikat penyedia jasa sontekan kecil-kecilan dalam menyusun trik menyontek agar tak kepergok pengawas ujian selama tes kemampuan akademis berlangsung. Suatu kecurangan semasa sekolah yang sejatinya pernah dilakukan hampir semua siswa, bukan? 

Guliran pengisahan Bad Genius sendiri terinspirasi dari berita mengenai pembatalan nilai tes SAT – tes standardisasi bagi pelajar yang ingin melanjutkan kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat – setelah terbongkar adanya praktik menyontek massal dalam ujian di Tiongkok. Lewat Bad Genius, peristiwa tersebut direka ulang dan didramatisir sedemikian rupa menjadi kasus kecurangan dalam tes STIC yang merupakan fiksionalisasi SAT. Empat siswa yang dianggap bertanggungjawab antara lain Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying), Bank (Chanon Santinatornkul), Pat (Teeradon Supapunpinyo), dan Grace (Eisaya Hosuwan). Di permulaan film, kita mendapati mereka dibombardir pertanyaan dalam suatu ruang interogasi usai kedapatan menyontek. Ada yang mengakui, ada pula yang mengelak. Kita pun dibuat bertanya-tanya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Guna memaparkan kronologi peristiwanya, si pembuat film lantas melempar alur penceritaan ke tiga tahun sebelumnya saat para siswa ini baru memulai tahun ajaran awal di sebuah sekolah swasta terbaik. Penonton diperkenalkan kepada Lynn, siswi berotak brilian dari keluarga berekonomi pas-pasan yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial. 

Satu-satunya teman Lynn di sekolah adalah Grace yang bergabung dengan klub drama dan mewakili stereotip siswi cantik yang tidak pintar. Mengetahui Grace bermasalah dengan nilainya, Lynn berinisiatif untuk membantunya termasuk memberikan sontekan secara sukarela saat ujian. Kebaikan serta kecerdasan Lynn ini lantas dimanfaatkan kekasih Grace yang kaya raya sekaligus oportunis, Pat, yang menjanjikan senilai uang asalkan Lynn bersedia memberi dia dan beberapa kawan baikannya berupa sontekan saat ujian. Mengingat sang ayah (Thaneth Warakulnukroh) mengalami kesulitan secara finansial, Lynn menerima tawaran Pat. Perlahan tapi pasti, bisnis ilegal berkedok ‘les piano’ ini berkembang pesat seiring semakin banyaknya siswa yang bergabung bahkan merambah lebih jauh hingga ke tes STIC. Ancaman akan terbongkarnya praktik terlarang ini muncul dari siswa teladan yang polos dan memiliki jiwa pekerja keras, Bank. Tapi tentu saja Nattawut Poonpiriya tak akan membiarkan ‘les piano’ ini bubar jalan begitu saja hanya karena seorang Bank terlebih misi raksasa belum tercapai. Agar perjalanan menuju klimaks kian terasa greget, dia pun menghadirkan beberapa kelokan-kelokan yang akan membuatmu enggan untuk memalingkan muka barang sedetikpun dari layar bioskop.


Keengganan untuk memalingkan muka pada dasarnya telah terbentuk semenjak film memulai langkahnya. Cuplikan adegan interogasi di sela-sela babak introduksi mengapungkan kepenasaran untuk mengetahui lebih dalam kesulitan semacam apa yang menjerat keempat tokoh utama. Sedikit demi sedikit petunjuk yang mengarahkan pada adegan tersebut ditebar. Proses menuju detik-detik ‘pengungkapan fakta’ berlangsung amat menegangkan dengan intensitas yang tak sekalipun mengendur. Daya sentak untuk penonton secara resmi muncul pertama kali dalam adegan ujian di ruang kelas yang melibatkan Lynn dan Grace. Hanya bermodalkan properti berupa sepatu dan karet penghapus, sang sutradara yang memperoleh sokongan bagus dari penyuntingan lincah Chonlasit Upanikkit dan gerak kamera dinamis Phaklao Jiraungkoonkun berhasil menempatkan penonton dalam fase harap-harap cemas; menggigit-gigit kuku, menggenggam erat kursi bioskop, dan bercucuran keringat. Ya, ruang ujian dalam Bad Genius tak ubahnya bank atau ruang brankas di rumah seorang kaya dalam heist film pada umumnya. Situasinya memang tidak sampai tahapan seekstrim hidup-mati dan sekadar berhasil-gagal, namun tetap tak berdampak pada berkurangnya kadar ketegangan terlebih jika kamu pernah melakukan praktik menyontek atau memberi sontekan semasa sekolah. Mudah sekali untuk merasa terhubung. 

Seiring makin meluasnya bisnis yang dijalankan Lynn dan kawan-kawan, kemampuan Bad Genius dalam mencekam penonton turut berlipat ganda. Pasalnya, pertaruhannya terus ditingkatkan dan tidak lagi melibatkan satu dua karakter saja. “Apa yang akan terjadi selanjutnya?” adalah pertanyaan yang terus menerus berkecamuk di benak dan kandungan zat adiktif di Bad Genius memungkinkan kita untuk ketagihan mencari informasi yang lebih, dan lebih. Disamping pengarahan Nattawut, tata kamera Phaklao, serta editing Chonlasit, kunci keberhasilan lain dari Bad Genius sehingga penonton seolah-olah dilibatkan ke dalam film adalah akting cemerlang jajaran pemainnya khususnya pendatang baru Chutimon sebagai siswi yang dihimpit keadaan, Thaneth sebagai ayah yang sangat menyanyangi putrinya, dan Teeradon sebagai siswa kaya manja yang terkadang menyuplai humor, lalu naskah berisi racikan Nattawut bersama Tanida Hantaweewatana dan Vasudhorn Piyaromna. Tidak selamanya mulus – beberapa tindakan ada kalanya menyebabkan dahi mengerut – tapi masih sangat bisa dimaafkan karena terbayar oleh kesanggupannya menyuarakan kritik terhadap dunia pendidikan yang korup dan kerap kali menekan siswa dengan cara sangat mengasyikkan. Saya tak pernah sedikitpun menyangka lembar jawab pilihan ganda bisa membuat jantung berdegup begitu kencang kala ditampilkan dalam sebuah film layar lebar. Dalam Bad Genius, saya menjumpai itu.

Outstanding (4/5)


Belum ada Komentar untuk "REVIEW : BAD GENIUS"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel