REVIEW : DESPICABLE ME 3
“Face it, Gru. Villainy is in your blood!”
Saat ini, siapa sih yang tidak mengenal serombongan makhluk cilik berwarna kuning penggemar pisang bernama Minions? Semenjak diperkenalkan pertama kali lewat Despicable Me (2010), popularitasnya langsung membumbung tinggi sampai-sampai studio animasi yang mencetuskannya, Illumination Entertainment, merasa perlu untuk menggunakannya sebagai logo studio saking ikoniknya dan mempersilahkan krucil-krucil menggemaskan nan menyebalkan ini untuk berlaga di film solo perdana mereka, Minions (2015). Meski respon dari para kritikus kurang begitu baik, khalayak ramai masih menyambutnya dengan amat antusias yang terbukti lewat torehan dollar mencapai $1 miliar dari peredaran seluruh dunia dan penjualan merchandise yang laris manis. Menilik betapa Minion masih menjadi aset menguntungkan bagi studio, maka tidak tanggung-tanggung dua judul dalam franchise Despicable Me pun dipersiapkan; pertama, jilid ketiga dari Despicable Me (2017), dan kedua, sekuel untuk Minions (2020). Masih mempertahankan tim yang sama dengan pendahulu, Despicable Me 3 dilepas sembari berharap-harap cemas film dapat mengulangi kesuksesan instalmen-instalmen sebelumnya dan terlepas dari kutukan seri ketiga dalam suatu trilogi yang umumnya mengalami kemerosotan kualitas maupun kuantitas. Mampukah?
Dalam Despicable Me 3, Gru (disuarakan oleh Steve Carell) yang kini telah menikahi rekannya dalam Liga Anti Penjahat, Lucy (Kristen Wiig), ditugaskan untuk menggagalkan aksi pencurian berlian dari seorang mantan aktor cilik era 80-an yang bertransformasi menjadi penjahat berbahaya, Balthazar Bratt (Trey Parker). Ketidakberhasilan Grucy – akronim untuk Gru dan Lucy – dalam menghentikan sepak terjang Balthazar berujung pada pemecatan. Di tengah upaya mencerna kenyataan yang baru saja dihadapinya, Gru dikejutkan oleh datangnya berita bahwa sebagian besar Minion enggan mengabdi lagi padanya, lalu ayah kandung yang tidak pernah ditemuinya telah berpulang dan dia memiliki saudara kembar bernama Dru. Ditemani oleh Lucy bersama dengan ketiga putri ciliknya; Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Nev Scharrel), serta dua Minion yang masih setia kepadanya, Gru pun bertolak ke Freedonia demi menemui saudara kembarnya. Kehadiran Gru disambut gegap gempita oleh Dru yang berharap dapat memperoleh pelatihan untuk menjadi supervillain dari Gru. Tidak ingin mengecewakan Dru, Gru yang sejatinya telah insyaf pun mengajaknya terlibat dalam misi merebut kembali berlian dari markas Balthazar guna menyelamatkan pekerjaannya – sekaligus dunia, tentu saja – yang dikamuflasekan olehnya seolah-olah ini adalah misi pencurian dua penjahat berbahaya.
Menapaki seri ketiga, nyatanya franchise Despicable Me mengalami apa yang dikhawatirkan banyak pihak: pesona yang mengendur. Apabila disandingkan dengan dua jilid awal, daya pikatnya telah mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebabnya adalah jalinan pengisahan yang terlalu banyak mau. Ketimbang menempatkan fokus cerita sebatas pada pengejaran Balthazar, si pembuat film turut memunculkan cabang-cabang plot lain yang mengulik soal pertemuan Gru bersama saudara kembarnya, Minions yang membangkang dari Gru lalu berkelana dengan harapan dapat menemukan majikan baru, Agnes yang mempercayai bahwa ada unicorn di hutan Freedonia, sampai upaya Lucy untuk menyesuaikan diri menjadi seorang ibu yang baik bagi ketiga putrinya. Terasa saling tumpang tindih, penuh sesak dan berdampak pada sebagian besar subplot yang terhidang kurang matang ke penonton. Tahu-tahu sudah selesai begitu saja tanpa meninggalkan kesan lebih mendalam. Padahal subplot soal Lucy sebagai ibu baru berpotensi memberi sentuhan hangat pada film yang sekali ini urung hadir demi memberikan ruang untuk kegilaan demi kegilaan yang rasa-rasanya memang diingini sebagian besar penonton – utamanya penonton cilik. Bahkan sisi kebapakan Gru yang biasanya memperoleh porsi tersendiri pun agak dikesampingkan dan hanya menyisakan momen berkesan seperti Gru memberi kecupan selamat tidur pada si bungsu Agnes di ranjang tinggi yang cukup manis.
Berita baik dari agak berkurangnya sentuhan emosional dalam Despicable Me 3 adalah duo Pierre Coffin dan Kyle Balda menggenjot lawakannya. Memang tidak semuanya mengenai sasaran, banyak pula yang berakhir garing dan mengesalkan terutama di bagian Dru. Namun ketika mencapai yang diingini, bisa benar-benar lucu. Kelucuan paling menonjok dalam film dipersembahkan oleh siapa lagi kalau bukan para Minion. Keputusan tepat mereduksi jatah tampil makhluk-makhluk kuning ini karena justru memperkuat kerinduan sekaligus mengurangi kejengkelan kita pada mereka. Sekalinya Minion muncul, derai-derai tawa terdengar riuh menggema di gedung bioskop semacam ditampakkan dalam adegan di penjara yang menggelikan dan kompetisi menyanyi yang berujung kacau. Disamping mereka, Gru dan Balthazar ikut berkontribusi agar unsur hiburan di Despicable Me 3 terjaga konstan. Lewat sosok Balthazar yang sayangnya kurang memperoleh penggalian karakter ini, penonton mendapatkan banyolan dengan referensi budaya populer cukup pekat yang sebagian besar diantaranya berasal dari era 1980-an. Iringan lagu-lagu legendaris dari Michael Jackson, Madonna, a-ha, sampai Olivia Newton John membantu menginjeksikan sisi fun pada film yang gagal diangkat oleh tembang-tembang anyar gubahan Pharrell Williams yang sekalipun enak buat dinikmati namun mudah dilupakan. Ya, enak dinikmati namun mudah dilupakan seperti halnya Despicable Me 3 itu sendiri.
Acceptable (3/5)
Belum ada Komentar untuk "REVIEW : DESPICABLE ME 3"
Posting Komentar