REVIEW : THE AUTOPSY OF JANE DOE


“All these mistakes, my mistakes, and you had to pay for them.” 

Seperti halnya Last Shift yang sempat mampir di bioskop tanah air tahun lalu, nasib The Autopsy of Jane Doe bisa dibilang apes. Betapa tidak, mengingat jajaran pelakon utamanya bukanlah nama sembarangan, sang sutradara punya jejak rekam membanggakan dimana karya sebelumnya yakni Trollhunter disambut sangat hangat oleh para pecinta film horor dunia, dan premis usungannya terdengar menggoda, film ini tidak pernah memperoleh kesempatan untuk dipertontonkan secara luas. Selepas diperkenalkan pertama kali ke khalayak melalui Toronto International Film Festival, The Autopsy of Jane Doe lantas menyapa penikmat tontonan seram hanya melalui rilisan secara terbatas di bioskop, streaming platform, dan home video. Nyaris tiada terdengar gaungnya. Dugaan yang lantas muncul, apakah ini berarti film arahan André Øvredal tersebut mempunyai mutu kurang baik sampai-sampai pihak distributor emoh menggelontorkan dana besar untuk promosi dan perilisan? Tapi, (lagi-lagi) seperti halnya Last Shift, kualitas bukanlah alasan utama yang melatarbelakangi karena kenyataannya kedua judul ini – khususnya The Autopsy of Jane Doe – merupakan harta karun tersembunyi yang sebaiknya tidak dilewatkan begitu saja oleh para pecinta film horor. 

Judul dari film ini merujuk pada sesosok mayat perempuan cantik tanpa identitas (Olwen Catherine Kelly) yang ditemukan setengah terkubur di ruang bawah tanah dari sebuah rumah yang menjadi TKP pembunuhan. Sheriff Sheldon (Michael McElhatton) yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus aneh ini lantas membawa mayat si perempuan yang diberi nama Jane Doe pada ahli otopsi setempat, Tommy Tilden (Brian Cox) dan putranya Austin (Emile Hirsch), demi mengungkap penyebab kematiannya. Menguak pemicu tewasnya Jane Doe nyatanya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena mayat Jane Doe jelas bukanlah mayat biasa. Setidaknya ada tiga kejanggalan yang berhasil diendus oleh Tommy. Pertama, tidak ditemukan adanya tanda-tanda luka atau trauma dalam tubuh mayat. Kedua, tubuh korban mengindikasikan bahwa waktu kematian baru saja terjadi sementara mata korban menyatakan bahwa waktu kematian telah berlangsung beberapa hari silam. Dan ketiga, beberapa bagian dalam tubuh mengalami kerusakan tanpa meninggalkan bekas luka di bagian luar. Tatkala mencoba menggali lebih dalam mengenai kebenaran dibalik tewasnya Jane Doe inilah baik Tommy maupun Austin harus menghadapi berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan oleh nalar.


Dalam membangkitkan bulu kuduk penonton di The Autopsy of Jane DoeAndré Øvredal kerap bermain-main dengan atmosfir yang menciptakan rasa tidak nyaman. Sukar untuk bisa duduk di kursi bioskop tanpa dirongrong perasaan gelisah ketika pemandangan yang terhampar di layar adalah lift sempit yang menjadi akses satu-satunya untuk keluar masuk, lorong panjang dengan pencahayaan temaram, dan ruang otopsi penuh mayat yang bertempat di ujung dari sebuah basement. Belum apa-apa, si pembuat film telah menciptakan nuansa klaustrofobik yang mencekat. Lalu tambahkan semua hal-hal mengganggu ini dengan mayat Jane Doe. Yang belum dijabarkan di sinopsis – tapi bisa diketahui melalui poster – adalah mata si mayat yang senantiasa terbuka. Coba bayangkan dirimu dalam posisi keluarga Tilden: mengautopsi mayat yang matanya seolah-olah tengah memandang ke arahmu di suatu ruangan tertutup di bawah tanah. Mengerikan? Jelas. Terlebih, asal muasalnya belum diketahui secara pasti. The Autopsy of Jane Doe berasa sedap buat disimak bukan saja karena kepiawaian sang sutradara dalam menciptakan rasa ngeri akibat kegelisahan tetapi juga berkat pekatnya misteri yang melingkungi guliran pengisahan. 

Ditengah ketidaknyamanan, kita turut dibuat bertanya-tanya mengenai identitas dari Jane Doe. Siapakah dia sebenarnya? Apakah dia mempunyai keterkaitan dengan pembunuhan yang ditangani oleh Sheriff Sheldon? Apa penyebab utama kematiannya? Mengapa tidak ditemukan tanda-tanda semacam luka atau trauma yang umumnya muncul pada mayat? Rentetan pertanyaan ini merupakan pisau bedah utama yang dipergunakan oleh André Øvredal guna menjerat atensi penonton agar berkenan mengikuti jalannya film hingga tutup durasi. Munculnya sejumlah peristiwa ganjil di ruang otopsi seperti kanal radio yang mendadak berubah dengan sendirinya bisa dikata efektif membantu tingkatkan kengerian, namun begitu film lepas dari babak kedua yang ditandai tersibaknya misteri, The Autopsy of Jane Doe tidak lagi semencekam paruh awalnya. Penyebabnya, perpaduan antara penjabaran jawaban kurang memuaskan (sempat nyeletuk, “yah... begini lagi!”) dan kebergantungan André Øvredal terhadap jump scares receh. Bukannya buruk toh intensitasnya masih dapat dirasakan, hanya saja jauh dari kesan istimewa seperti langkah awalnya lantaran sejumlah trik menakut-nakutinya telah cukup sering diterapkan di film sejenis. Cukup mengecewakan memang, tapi untungnya tak sampai menodai film secara keseluruhan. The Autopsy of Jane Doe tetaplah salah satu ‘harta karun tersembunyi’ bagi penikmat tontonan seram.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Belum ada Komentar untuk "REVIEW : THE AUTOPSY OF JANE DOE"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel